Catatan Hary B Koriun
PENOLAKAN terhadap kepengurusan KONI Pekanbaru pimpinan Anis Murzil, dalam beberapa hari terakhir, terus berlangsung. Beberapa spanduk dibentangkan di pagar Kantor KONI Riau, Jl Gajah Mada, tepat di hari pelantikan, Senin (23/4/2018) lalu. Spanduk itu dibuat oleh Forum Penyelemat KONI dan Atlit (FPKA), sebuah forum yang dibentuk sekitar 20 cabang olahraga (cabor) yang sejak awal menentang Musorkotlub KONI Pekanbaru saat menggulingkan Amran Tambi.
Tulisan-tulisan di sekitar lima spanduk itu bervariasi. Semuanya mengungkapkan kekecewaan atas dilantiknya KONI Pekanbaru oleh KONI Riau.
Mengapa Anis ditolak?
Menurut pengakuan FPKA, Musorkotlub yang digelar di Aula Paskhas, 1 Desember 2017 lalu, cacat hukum dan tak memenuhi kuorum. Dari 32 Cabor di bawah KONI Pekanbaru, 22 tak hadir (karena tak diundang). Mereka kemudian membentuk FPKA. Namun, panitia Musorkotlub tersebut mengklaim memenuhi kuorum. Dan dalam rapat yang hanya punya satu agenda pemilihan itu, langsung mengangkat Anis Murzil menjadi Ketua KONI Pekanbaru.
Ini merupakan yang kedua bagi Anis, karena sebelumnya, dia juga diangkat dalam Musorkotlub yang juga ditolak oleh banyak cabor ketika menggulingkan kepemimpinan Amran Tambi pada Mei 2017. KONI Riau kemudian menerbitkan SK No 41. SK tersebut lalu dipermasalahkan oleh Tambi ke BAORI. Selanjutnya, BAORI mengeluarkan putusan membatalkan SK No 41, dan memerintahkan pengangkatan caretaker untuk melakukan Musorkotlub ulang. Sudarman Umar yang ditunjuk sebagai caretaker kemudian mengadakan Musorkotlub ulang di Aula Paskhas yang kembali mengangkat Anis.
Mengapa harus di Aula Paskhas TNI AU? Ini juga menjadi pertanyaan lainnya.
Seperti ada pemaksaan untuk menjadikan Anis sebagai Ketua KONI Pekanbaru. Di dua Musorkotlub tersebut, Anis menjadi nama tunggal. Tak ada lawan tanding. Dan seolah-olah memang di-setting sedemikian rupa agar tak ada nama lain.
Nama Anis seolah “menyedot” perhatian para pimpinan cabor yang menjadi voter. Seolah, kalau bukan Anis yang jadi ketua, KONI Pekanbaru tak sahih sebagai lembaga olahraga yang mengkoordinasi cabor-cabor yang ada di Pekanbaru. Lalu, siapakah Anis yang bisa “menyihir” banyak orang sehingga seolah-olah harus menjadikan dia sebagai Ketua KONI Pekanbaru?
Ini yang menarik. Padahal, Anis bukanlah politisi yang dikenal luas. Bukan pimpinan partai atau ormas tingkat provinsi atau kota. Bukan seseorang yang sedang menjabat atau mantan pejabat. Bukan pengusaha atau ekonom yang dikenal luas, atau menjadi rujukan media untuk mendapatkan pikiran-pikiran cerdasnya. Dia juga bukan akademisi atau pakar bidang ilmu tertentu. Bukan juga wakil rakyat di tingkat kota atau provinsi. Dan, yang lebih penting lagi, karena ini urusan olahraga, Anis juga bukan ketua cabor. Dia hanya pernah menjadi Plt PSSI Pekanbaru (dan ini pun menjadi salah satu pertanyaan lainnya mengapa bisa berada di posisi itu).
Lalu, jika semuanya bukan, mengapa seolah-olah hanya dan harus Anis yang menjadi Ketua KONI Pekanbaru? Padahal, penunjukkannya (pemilihan yang terkesan dipaksakan itu) menimbulkan kontroversial. Mendapatkan penolakan dari banyak voter. Ingat, 20 lebih cabor itu bukan jumlah sedikit. Dan jika nanti cabor-cabor ini bisa merangkul cabor lainnya untuk melakukan Musorkotlub lagi untuk menjatuhkan Anis, misalnya, bisa saja terjadi. Dan yang pasti akan semakin menambah kisruh olahraga Pekanbaru.
Nah, dari pertanyaan-pertanyaan itu, kemudian muncul banyak desas-desus yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Anis, katanya, sangat dekat dengan Walikota Pekanbaru (nonaktif), Firdaus. Dan kabarnya lagi, Firdaus “hanya” ingin Anis-lah yang menjadi Ketua KONI Pekanbaru. Kabarnya lagi, saat pemilihan awal, Firdaus yang menginginkan Mustafa Kamal jadi ketua, kecewa karena kalah satu suara saat bertarung melawan Tambi.
Jika hanya soal kedekatan dengan walikota yang menjadi alasan Anis “harus” menjadi Ketua KONI Pekanbaru, alangkah sedihnya para olahragawan Pekanbaru. Mereka memiliki pimpinan induk cabang olahraga tertinggi yang bukan dari habitat olahraga. Kredibilitasnya dipertanyakan. Mestinya olahraga tidak dicampuradukkan dengan kepentingan politik, kedekatan dengan orang yang berkuasa, atau kepentingan lainnya di luar olahraga.
Seorang Ketua KONI harus punya visi dan konsep yang benar untuk memajukan olahraga. Dia juga punya ilmu manajerial yang baik, termasuk dalam manajemen konflik. Dan yang lebih spesifik lagi, manajemen olahraga berbeda dengan manajemen lain. Dia harus memahami filosofi olahraga yang mengedepankan sportivitas. Jika cara untuk mendapatkan jabatan itu jauh dari nilai sportivitas, bagaimana dia memahami nilai dan filosofi olahraga tersebut?
Padahal, Pekanbaru sangat memerlukan seorang pimpinan induk olahraga yang tangguh, pekerja keras, bisa merangkul semua potensi dan tahu apa yang akan dikerjakan, karena tantangan Pekanbaru ke depan sangat berat. Sudah lama Pekanbaru gagal menjadi juara umum Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Riau. Di Porprov IX Kampar 2017, Pekanbaru berada di posisi ketiga dengan 43 emas, 52 perak, dan 59 perunggu. Kalah dari Bengkalis yang jadi juara umum dan tuan rumah Kampar.
Porprov adalah gambaran umum hasil pembinaan olahraga di sebuah kabupaten/kota. Sebagai ibukota provinsi, mestinya Pekanbaru bisa berada di posisi yang lebih baik. Sebab, selain hampir semua sarana dan prasarana ada di Pekanbaru, juga hampir semua pelatih terbaik juga ada di sini. Seharusnya dua aspek ini bisa melahirkan atlet-atlet terbaik.
Dengan kenyataan lebih 20 cabor anggota FPKA yang tak mendukung Anis, dan cenderung dijauhi Anis (tak dirangkul), apakah kita yakin Anis adalah orang yang tepat untuk bisa menaikkan prestasi olahraga Pekanbaru? Jika dualisme, perlawanan FPKA, dan konflik ini terus terjadi, maka alamat semakin jauhlah prestasi olahraga Pekanbaru dalam lima tahun ini. Harus ada solusi terbaik.***