Catatan Hary B Koriun
"KITA tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia bangsa yang besar. Yang mampu maju ke muka, memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya…"
Kalimat-kalimat itu diucapkan Presiden Soekarno ketika kritikan tajam datang kepadanya perihal pembangunan megaprotek infrastruktur dalam persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV 1962. Bagi Soekarno, Asian Games 1962 adalah salah satu alat untuk menjelaskan kepada bangsa-bangsa di Asia, juga dunia, bahwa Indonesia tak miskin-miskin amat seperti yang sebelumnya ditudingkan.
Setelah mengalahkan Pakistan dalam pencalonan yang dilakukan pada Mei 1958 di Tokyo, Soekarno hanya punya waktu 4 tahun untuk membangun infrastruktur pendukung. Indonesia baru merdeka 17 tahun ketika itu. Tak punya fasilitas olahraga yang memadai. Tak punya infrastruktur penunjang lainnya yang bisa dibanggakan. Pendeknya, Indonesia tak punya sesuatu yang dibanggakan.
Dalam kondisi devaluasi ekonomi yang lumayan parah, Soekarno berhasil meyakinkan Uni Soviet untuk memberikan pinjaman lunak senilai 12,5 juta dolar AS untuk membangun infrastruktur tersebut. Soekarno tak peduli hujatan kanan-kiri yang menudingnya tak prorakyat dan sebagainya. Menurutnya, Indonesia harus bisa menunjukkan kepada siapapun sebagai bangsa besar, berkomitmen, dan yakin dengan dirinya sendiri.
Maka, mulailah dibangun Kompleks Olahraga Senayan dengan membebaskan beberapa kampung, yakni Kampung Senayan, Bendungan Hilir, Petunduan, dan Kebon Kelapa. Luasnya sekitar 300 hektare. Tak ada ribut dan hiruk-pikuk soal pemindahan ribuan warga di sana. Di kawasan ini dibangun Stadion Utama berkapasitas 100.000 penonton (jelang Piala Asia 2007 direnovasi menjadi 80 ribuan tempat duduk). Stadion ini mirip dengan stadion-stadion besar di Uni Soviet dan Eropa Timur lainnya, termasuk mirip dengan Stadion Luzhniki awal sebelum direnovasi jelang Piala Dunia 2018.
Selain itu juga dibangun Stadion Madya (atletik), Stadion Renang, GOR Basket, Istora, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Bundaran HI dan Tugu Selamat Datang, Pasar Sarinah, termasuk melebarkan Jl MH Thamrin dan Sudirman menjadi kinclong. Di luar proyek-proyek itu, Soekarno juga sudah melakukan pembangunan awal Monumen Nasional (Monas) dan Masjid Istiqlal. Dua proyek yang diarsiteki Frederick Silaban ini baru selesai sudah meninggal pada 1970 saa rezim Soeharto berkuasa. Soehartolah yang meresmikan dua bangunan raksasa ini pada tahun 1975 dan 1978.
Tak hanya infrastruktur berupa bangunan megah, Soekarno juga membangun TVRI sebagai televisi negara. Berdiri 24 Agustus 1962, TVRI dipakai Soekarno untuk menyiarkan pembukaan dan pertandingan Asian Games. Seperti ditulis sejarawan Stefan Hübner dalam The Fourth Asian Games (Jakarta 1962) in a Transnational Perspective, sekitar 10 ribu perangkat televisi dibeli dari Jepang untuk memberi kesempatan orang-orang Indonesia menonton pertandingan, sekaligus jadi awal mula pertelevisian Indonesia.
Gelora Bung Karno (di awal berdiri dinamakan Gelora Bung Karno, tetapi di era Soeharto diganti menjadi Stadion Utama Senayan, dan dikembalikan lagi ke nama awal setelah era Reformasi), Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Sarinah, Monas, Masjid Istiqlal, TVRI, dan yang lainnya, hingga hari ini masih kokoh dan menjadi simbol dan penanda: inilah Indonesia.
Ketika Asian Games 1962 dibuka pada 24 Agustus 1962 yang sekaligus peresmian stadion terbesar di Asia dan menyamai stadion-stadion megah dunia lainnya dan juga untuk pertama kalinya TVRI mengudara untuk menyiarkan langsung upacara pembukaan, 100 ribu orang lebih memadati stadion tersebut. Dunia terbelalak. Empat tahun sebelumnya dunia –juga sebagian masyarakat Indonesia-- tak yakin semua itu terwujud. Dari nol infrastruktur, kini Asian Games benar-benar dibuka dengan meriah di stadion megah.
Soekarno membuktikan bahwa dia bukan omdo (omong doang) tetapi memang bekerja dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Dia bilang, rakyat Indonesia harus bangga dengan apa yang dilakukan negaranya yang bisa membungkam segala ejekan dan ketidakpercayaan negara lain. Ketika itu 18 negara ikut dalam pesta olahraga ini dan mempertandingkan 13 cabang olahraga. Indonesia sendiri diwakili 290 atlet terbaik dan enempati posisi ke-2, membuntuti bekas penjajah, yakni Jepang. Indonesia berhasil mengumpulkan 77 medali dengan 21 emas, 26 perak, dan 30 perunggu.
Pada kondisi memanas di Timur Tengah dan hubungan yang buruk antara Cina dan Taiwan, Soekarno harus memilih. Negara-negara Arab mendesak agar Indonesia menolak keikutsertaan Israel karena konflik di Palestina. Sedang Cina juga mendesak agar Taiwan ditolak. Soekarno akhirnya tak menerbitkan visa untuk atlet dari Israel dan Taiwan, yang sempat membuat hubungan Indonesia dan India—sebagai negara asal Dewan Olimpiade Asia (OCA)—panas. OCA menyayangkan Soekarno membawa-bawa masalah politik di Asian Games.
Setelah Asian Games 1962, Dewan Olimpiade Internasional (IOC) menjatuhkan sanksi kepada Indonesia. Soekarno tak peduli. Dia melawan dengan menghimpun negara-negara berkembang untuk membuat pesta olahraga tandingan bernama Games of The Newly Emerging Forces (Ganefo) yang diikuti 57 negara pada November 1963. Ganefo ini hanya berlangsung dua kali. Pada 1966 Ganefo II diadakan di Kamboja, dengan 17 negara peserta. Ganefo III yang rencananya digelar di Cina, batal digelar.
Tapi Soekarno sudah meletakkan sebuah fondasi bahwa olahraga sangat penting bagi bangsa. Bisa menjadi menjelaskan kepada orang lain tentang harga diri hingga membuat yang tak mungkin menjadi mungkin. “Kalau tak ada Asian Games, belum tentu Indonesia punya Kompleks Stadion Bung Karno. Juga belum tentu kita punya TVRI,” ujar Jusuf Kalla, wakil presiden yang juga Ketua Dewan Pengarah INASGOC.
Kini, salah satu pesta olahraga terbesar di dunia ini (hanya kalah besar dari Olimpiade) digelar lagi di Indonesia. Inilah momen untuk menunjukkan eksistensi siapa kita. Indonesia.***