PERCA

Mudik, Idul Fitri, dan Corona

Perca | Selasa, 11 Mei 2021 - 14:54 WIB

Mudik, Idul Fitri, dan Corona
ILUSTRASI. (DOK RIAUPOS.CO)

Oleh Hary B Koriun

Pandemi corona (Covid-19) membuat kita harus ikhlas ketika merayakan Idul Fitri 1442 H tanpa bertemu langsung dengan keluarga di kampung. Kesehatan harus dianggap lebih penting dari segalanya.


SEBELUM pandemi corona muncul dan menyebar di seluruh dunia sejak akhir 2019 lalu, Hari Raya Idul Fitri –juga hari raya umat agama lain— selalu ditunggu. Inilah waktunya para urban kembali ke kampung asalnya. Menemui keluarga: bapak, ibu, kakak, adik, dan sanak saudara yang lain. Mungkin ada yang tak ketemu setahun –karena hanya bisa pulang saat Idul Fitri— atau hanya beberapa bulan karena sebelumnya sempat pulang kampung meski bukan saat Idul Fitri. Kegembiraan bersama teman-teman masa kecil, para tetangga dekat, teman-teman sekolah, dan sebagainya, adalah obat yang tak pernah didapatkan pada momen lain.

Sebelum-sebelum ini, kita setiap hari selalu disuguhi “laporan dari lapangan” para reporter televisi di semua jalur mudik. Terutama di Kawasan Pantura Jawa –mulai dari Jakarta hingga Surabaya— atau kawasan lainnya di berbagai daerah, termasuk sepanjang Jalan Lintas Sumatra. Laporan tentang hiruk-pikuk para pemudik, baik dengan moda sepeda motor, kereta api, bus, kapal laut, maupun mereka yang mampu membeli tiket pesawat terbang yang lebih mahal. Istilah “tuslah” juga hampir selalu diucapkan oleh para reporter tersebut, tentang kenaikan tarif angkutan yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah, namun di lapangan para pemilik moda sering menaikkan lebih tinggi lagi.

Biasanya laporan tersebut begitu menyibukkan para reporter pada H-6 hingga H+6.

Begitu hebatnya berita tentang mudik ini sampai hampir semua berita di televisi lebih 60 persen berisi tentang mudik dan segala turunannya tersebut. Energi semua orang seolah dipusatkan pada peristiwa setahun sekali, yang juga selalu menimbulkan cerita-cerita sedih dan memilukan tentang kecelakaan lalulintas yang selalu tinggi.

Tapi, sejak Idul Fitri tahun 2020 lalu, berita hiruk-pikuk tentang mudik tersebut telah berubah menjadi berita hiruk-pikuk tentang upaya pemerintah –yang di lapangan dikerjakan oleh polisi, anggota TNI, Satpol PP, dan Satgas Covid-19— menghalau para pemudik yang nekat menerobos barikade petugas tersebut yang melakukan penyekatan di hampir semua perbatasan, baik kabupaten/kota maupun provinsi.

Larangan pemerintah untuk mudik sebagai ikhtiar untuk mencegah persebaran Covid-19 ke kampung-kampung yang dibawa oleh para urban dari kota, mendapat perlawanan di mana-mana, terutama mereka yang punya “semangat baja” untuk memaksakan diri mudik. Seolah mudik adalah kewajiban tahunan yang tak boleh ditinggalkan.

Diakui atau tidak, memang ada yang hampa di dada  ketika kita tak bisa ketemu keluarga besar saat Hari Raya Idul Fitri. Meski mungkin kita bisa tetap bertatap muka dengan ibu, bapak, handai tolan dan keluarga besar secara virtual menggunakan gawai pintar, tetapi tetap tak bisa mewakili sepenuhnya diri kita dan keluarga yang berada di kampung. Ritual-ritual tahunan seperti Salat Id di masjid atau langgar, lalu makan bersama dengan para jamaah setelah salat dari makanan yang dibawa masing-masing dari rumah, silaturahmi dengan mereka, dan sebagainya, tak bisa diwakili dengan virtual tersebut.

Hal ini sudah kita rasakan bersama pada Idul Fitri tahun lalu. Dan hampir pasti juga pada tahun ini. Sebuah laku sosial yang sudah bertahun-tahun kita laksanakan, dan tiba-tiba harus dihentikan secara mendadak dan penuh paksaan karena pandemi ini.

Berita-berita yang kita baca atau dengar dan lihat tentang para pemudik yang dipaksa putar balik ke daerah asal mereka, membuat kita bersedih. Misalnya tentang rombongan sebuah bus dari Medan menuju Sumatra Barat yang sudah sampai Pekanbaru, akhirnya harus kembali ke Medan karena aturan penyekatan yang tak bisa ditawar lagi. Juga banyak cerita dengan nada yang sama yang menjelaskan bagaimana keinginan mereka untuk pulang kampung bertemu sanak-saudara dengan melawan risiko yang sudah dibuat aturannya oleh pemerintah, dari pusat hingga daerah.

Begitu pentingkah silaturahmi langsung dengan keluarga di kampung?

Sangat penting. Karena itu semacam ritual tahunan yang tak pernah terlewatkan jika tak ada aral melintang. Terutama ketemu orangtua yang mungkin sudah lama tak ditemui secara langsung.

Tapi, kesehatan, pasti, lebih penting dari segalanya.

Tahun ini, varian baru corona yang sudah terjadi lebih dahsyat di India, Brazil dan beberapa negara lain, membuat kita harus sadar dan memahami bahwa semua ritual tahunan tersebut ternyata “tidak lebih penting” dibanding upaya tetap menjaga keluarga kita dari pandemi yang dahsyat tersebut.

Dari situ, penting bagi kita untuk ikhlas dengan kondisi seperti ini dan memilih tetap tinggal di mana kita berada sekarang. Yang bisa kita lakukan adalah tetap ikhtiar dan berdoa semoga wabah ini cepat berlalu. Dengan begitu, di masa depan kita bisa kembali melakukan ritual mudik, pulang kampung saat Idul Fitri, dan ketemu keluarga, tanpa cemas dan takut akan penyakit mematikan ini.

Selamat Idul Fitri 1442 Hijriah, semoga Allah Swt menjaga kita semua dan menghilangkan wabah corona ini secepatnya.***

 

 

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook