Gapki Nilai Perubahan SK Kawasan Hutan Tak Konsisten

Pekanbaru | Rabu, 18 September 2019 - 10:12 WIB

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -   Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai masih lemahanya tata kelola pekebunan kelapa sawit membuat pemerintah daerah tidak mampu membuat kebijakan yang baik terhadap arah pembangunan perkebunan kelapa sawit. Bahkan adanya perubahan Surat Keputusan (SK) Kawasan Hutan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selalu tidak konsisten.

‘’Kami menilai ada perubahan SK kawasan hutan yang dikeluarkan KLHK yang tidak konsisten, sehingga membuat daerah kesulitan, bahkan ketakutan dalam mengambil kebijakan masalah tatak kelola hak atas lahan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit. Akhirnya daerah selalu dirugikan atas kebijakan tersebut,’’ ujar Legal Advissor Gapki Pusat Dr Sadino SH MH.


Hal itu dikatakannya  saat menjadi pembicara Focus Group Discussion (FGD) 2019 terkait Rekonsilasi Penatausahaan Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari Industri Ekstraktif  di Pekanbaru, Selasa (17/9).

FGD yang ditaja oleh Biro Administrasi Perekonomian dan Sumber Daya Alam Setda Riau, mengusung tema ‘‘Sustainable Palm Oil For Life Melalui Tata Kelola Perkebunan yang Efektif’’ dengan menghadirkan nara sumber Dr Sadino SH MH dari Legal Advissor Gapki Pusat, Dinas Tanaman Pangam Hortikultura dan Perkebunan Riau serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Atap Riau.

Pada kesempatan itu Sadino juga menyampaikan berbagai persoalan pekebunan kelapa sawit secara nasional dan juga di Riau. Menurutnya, saat ini perkebunan sawit sangat besar menyumbang devisa untuk negara. Mulai dari tahun 2015 devisa yang disumbangkan mencapai 18,6 miliar dolar AS dan selalu meningkat dari tahun ketahun.

Sedangkan luas kebun sawit di Riau kata Sadino, dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencapai 2.400.874 hektare. Sedangkan untuk di lahan gambut mencapai 4.806 hektare dan di Riau seluas 1.515 hektare.

Sementara itu untuk sawit rakyat di Riau katanya lagi mencapai luas 1.354.502 hektare dari luas sawit di Riau yakni 2.400.874 hektare atau 56 persen dari luas kebun sawit Riau. Dengan jumlah kepala keluarga petani mencapai 524.562 KK dengan jumlah tertanggung sekitar 2.098.244 jiwa dan jumlah tenaga kerja 534.827 jiwa.

Namun anehnya jelas Sadino, hasil monitoring DPRD Riau luas perkebunan sawit di Riau mencapai 4,2 juta hektare berarti 1,8 juta hektare adalah ilegal dan negara kehilangan pajak Rp34 triliun. “Ini yang menjadi pertanyaan saya dari mana dapatnya itu dan bagaimana cara menghitungnya,” papar Sadino.

Jadi dengan banyaknya yang ilegal kata Sadino lagi, tentunya harus ditertibkan dan penertiban harus memperhatikan asal-usul perkebunan sawit. Apakah dari APL/HPK disesuaikan perizinan, sumber perizinan HGU, kebun sawit karena areal transmigras. 

Menurutnya, ada status kebun sawit karena penugasan dari pemerintah di masa lalu, proaktif untuk mendaftar STD-B bagi pekebun di bawah 25 hektare dan membantu percepatan proses TORA bagi kebun masyarakat yang ada di HPK dan membantu proses pemberian hak atas tanah bagi yang belum memperoleh hak atas tanah, agar pemerintah dapat memungut pajak atas tanah dan pajak-pajak lain, yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

‘’Sedangkan status lahan perkebunan kelapa sawit saat ini adalah status hak atas tanah HGU, status HGU dimasukkan dalam SK Kawasan Hutan, baik dalam tahap penunjukan maupun penetapan, belum ada HG. Biasanya akibat tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan penataan ruang dan kehutanan,’’ terangnya.

Kemudian katanya lagi, adanya perubahan SK Kawasan Hutan yang tidak konsisten, tumpang tindih perizinan mengakibatkan kesulitan pemberian hak atas tanah dan tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat dan hak masyarakat lainnya, sehingga tidak bisa ditingkatkan hak atas tanahnya.

 Selanjutnya terang Sadino lagi, begitu banyaknya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merubah dan membatalkan undang-undang, kemudian juga isue tentang tata ruang dan wilayah. Ini membuat ketidakjelasa tata kelola perkebunan kelapa sawit di daerah. 

Sedangkan Kepala  Bagian Sumber Daya Alam biro Administrasi Perekonomian dan SDA Setdaprov Riau, Arie Ardian Nasution yang membuat acara itu mewakili Gubernur Riau mengatakan, tujuan dilakukan FGD itu adalah untuk mengetahui permasalahan tata kelola yang dihadapi oleh pelaku usaha/petani di sektor perkebunan kelapa sawit. Kemudian untuk menghimpun informasi dan pertimbangan saran rekomendasi dalam upaya pengambilan kebijakan terhadap tata kelola perkebunan kelapa sawit.(ksm)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook