300 Botol, 35 Liter Minyak Tanah untuk Festival Lampu Colok

Pekanbaru | Rabu, 13 Juni 2018 - 11:52 WIB

300 Botol, 35 Liter Minyak Tanah untuk Festival Lampu Colok
LAMPU COLOK: Hiasan lampu colok dari salah satu peserta Festival Lampu Colok HUT ke-234 Kota Pekanbaru di Jalan Cut Nyak Dhien, Senin malam (11/6/2018). (DEBSY MEDYA SEPTIANI/RIAU POS)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Dua tahun tradisi festival lampu colok ditiadakan. Kini, Pemko Pekanbaru ingin menghidupkan kembali tradisi ini. Meski minim peserta, animo masyarakat tetap tinggi.

Botol-botol bekas yang menjadi lampu colok itu terpasang rapi pada sebuah instalasi kayu. Susunan-susunan botol bersumbu itu membentuk sebuah gambar ketika sumbu dinyalakan. Malam hari pun dihiasi pijar-pijar api dari ratusan lampu colok itu.

Baca Juga :Cerita Kompol Boby Kejar Pembawa 9 Kg Sabu hingga ke Sumsel

Sejak 10 Juni lalu, Jalan Cut Nyak Dhien menjadi pusat penyelenggaraan Festival lampu Colok sempena HUT ke-234 Kota Pekanbaru. Mulai malam ke-25 Ramadan 1439 H,  sumbu-sumbu lampu colok disulut api dengan menggunakan obor.

Ratusan pijar cahaya kecil muncul perlahan. Membentuk sketsa berbentuk masjid, lengkap dengan kubah dan dua menara di sisinya. Bahkan ada yang membentuk Kantor Wali Kota Pekanbaru dan Asma Allah.

Lampu colok ini baru dinyalakan mulai pukul 21.00 WIB selepas Salat Tarawih setiap malamnya. Dan berakhir malam ke-27 Ramadan 1439 H.

Meski hanya diikuti oleh empat peserta, namun animo masyarakat yang ingin melihat hiasan lampu colok ini cukup tinggi. Masyarakat menjadikan fesntival ini sebagai spot selfie atau swafoto.

‘’Sengaja bawa sepupu kecil buat lihat lampu colok. Masih sedikit lampu coloknya. Tapi lumayan lah. Mudah-mudahan tahun depan banyak yang buat lampu colok yang bagus-bagus. Jadi meriah Ramadannya,’’ kata Dila, warga Jalan Dharma, Payung sekaki, Senin malam (11/6).

Sementara itu, Sukatmin, perwakilan Masjid Amaliyah merupakan Masjid Paripurna Kelurahan Bencah Lesung, Kecamatan Tenayan Raya menyebutkan, dalam membuat lampu colok ini, remaja masjid bahu-membahu membuat gapura kayu, hingga menggalang dana untuk membeli minyak tanah.

Pengerjaan gapura biasanya memakan waktu sepekan dan memerlukan 30–40 batang kayu berbagai ukuran. Setelah konstruksi jadi, tahapan selanjutnya membentuk garis desain dengan menggunakan kawat. Kawat ini akan menjadi tempat untuk “menanam” lampu-lampu colok. Pengerjaannya perlu waktu sekitar dua jam. Bahkan remaja masjid ibarat seperti pemulung untuk mencari botol bekas dan menghidupkan kreativitas remaja masjid.

Saat festival berlangsung, tiap miniatur menghabiskan minyak tanah hingga 35 liter perhari. Minyak tanah itu untuk menghidupkan 300-an lampu colok yang menghiasi bangunan setinggi empat meteran.

“Pemasangan lampu dilakukan dengan menghindari risiko seminimal mungkin. Misalnya menjauhkan dari sumber listrik. Bahkan kami juga menghabiskan dana hingga Rp4 juta. Dana ini dari donatur dan sumbangan dari masyarakat,” katanya.

Ini, kata Sukatmin, menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi kami, karena setiap tahun kami selalu diberi kepercayaan untuk membuat lampu colok di setiap acara malam ke-27 Ramadan.

“Kami juga berharap tahun depan ada anggaran sendiri untuk kegiatan lampu colok ini,” harapnya.***

Laporan DEBSY MEDYA SEPTIANI, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook