PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru membuka posko pengaduan tindak pelecehan seksual di lingkungan kampus Universitas Riau (Unri). Hal ini berkaitan dengan kasus dugaan pelecehan yang menimpa mahasiswi Hubungan Internasional (HI) Unri yang kini sedang diproses kepolisian. Pembukaan posko pengaduan ini juga mendapat dukungan dari Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) Unri.
‘’Kami membuka posko pengaduan kekerasan maupun pelecehan seksual yang terjadi di kampus Unri. Kami mengapresiasi ada korban yang mau terbuka dan melaporkan diri seperti yang dilakukan mahasiswi HI ini. Kami terbuka untuk menerima aduan kasus lainnya yang terjadi di Unri,’’ ungkap Rian Sibarani, Kepala Operasional LBH Pekanbaru, baru-baru ini.
Rian menyebutkan, kasus pelecehan seksual yang terjadi perguruan tinggi di Riau, khususnya Unri, bukan hanya terjadi sekali ini saja. Beberapa aduan sudah pernah diterima pihaknya. Pada 2018 lalu menurut Rian, pihaknya juga pernah menerima aduan dari mahasiswi Unri.
Pada waktu itu, terduga pelakunya adalah seorang mahasiswa. Maka setelah munculnya Permendikbud No 30 Tahun 2021 ini menjadi momen yang pas untuk menyelesaikan kasus-kasus ini.
Permendikbud No 30 2021 itu adalah terobosan yang baik untuk mencegah kekerasan seksual di kampus. Ini harus didukung. Permendikbud ini memang baru dikeluarkan, namun ini akan menjadi momen bagi Unri. Permendikbud ini akan menjadi pedoman juga bagi kepolisian dalam memproses setiap kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus,’’ ungkap Rian.
Rian mengimbau, para mahasiswi yang merasa pernah jadi korban untuk tidak takut untuk membuka diri dan membuat pengaduan ke LBH Pekanbaru. Tidak hanya sebatas para mahasiswa aktif, para alumni pun dipersilahkan untuk membuka suara.
Berdasarkan Permendikbud
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, yang menjadi kuasa hukum korban dugaan kasus pelecehan seksual di Unri, mengaku belum menerima komposisi Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Rektorat Unri. Pihaknya berharap mendapat salinan nama-nama TPF yang disebut terdiri dari orang-orang independen tersebut.
Kepala Operasional LBH Pekanbaru Rian Sibarani menekan, TPF tidak cukup hanya independen. Tapi tim bentukan Rektorat Unri yang dijurubicarai oleh Wakil Rektor II Prof Dr Sudjianto itu juga harus bekerja sesuai Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Menurut Rian, hal ini penting dalam penyelesaian kasus tersebut.
‘’Komposis dan cara kerja TPF ini harus sesuai Permendikbud No 30 Tahun 2021 itu. Dalam Permendikbud tersebut, tim harus mengedepankan nilai-nilai perlindungan korban. Perspektifnya harus dari perspektif korban. Karena Permendikbud itu mengedepankan korban dan pemulihan korban harus menjadi prioritas utama,’’ tegasnya.
Terkait korban, saat ini menurut Rian, mahasiswi tersebut masih menjalani proses pemulihan psikis dan mental. Pihaknya juga mendapat informasi bahwa kepolisian mulai bergerak menangani kasus ini dengan mendatangi Fisip Unri. Pihaknya, menurut Rian, dalam posisi siap mendukung kerja pihak kepolisian bila dibutuhkan. ‘’Kami sudah mempersiapkan saksi-saksi yang dibutuhkan. Saat ini, hal itu belum bisa kami beberkan. Yang jelas untuk saksi minimal dua orang dalam kasus ini,’’ terangnya.
Rian pada kesempatan itu memberikan masukan kepada Unri agar segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan kampusnya. Karena hal itu menjadi mandat dari Permendikbud No 30 Tahun 2021 tersebut. Namun untuk kasus dugaan pelecehan seksual mahasiswi FISIP ini, TPF tidak perlu menunggu Satgas untuk bertindak.
Minta Polda Tidak Menindaklanjuti
Dalam pada itu, Noval, selaku kuasa hukum mahasiswi Unri berinisial L yang diduga menjadi korban pelecehan seksual, meminta agar Polda Riau membatalkan laporan oknum dosen yang telah dilayangkan ke Polda Riau.
Noval berharap agar Polda Riau membatalkan atau untuk tidak menindaklanjuti laporan yang dilayangkan oleh oknum dosen tersebut. Menurutnya, laporan balik yang dilakukan oleh oknum dosen itu tidak sesuai dengan pedoman surat keputusan bersama UU ITE dari Kominfo, Kejaksaan Agung dan juga Kepolisian.
Diungkapkannya, ketika ada laporan pencemaran nama baik itu harus dibuktikan dulu faktanya.
"Kita melapor tanggal 5 November. Sementara terduga melapor ke Polda Riau pada tanggal 6 November. Kita meminta Polda agar tidak menindaklanjuti laporan yang dilayangkan oleh oknum dosen itu," ujarnya.
Ia berharap kepada tim pencari fakta yang telah dibentuk agar bisa terbuka dalam melakukan pencarian fakta termasuk melibatkan semua pihak termasuk BEM Unri dan juga mahasiswa FISIP Unri. Apalagi polisi akan melakukan pemeriksaan saksi dan mencari petunjuk.
"Saat ini kita juga tengah fokus dengan pemulihan psikologi korban dan juga akan melampirkan bukti-bukti untuk memperkuat laporan kita. Kemudian juga tengah menunggu pemanggilan saksi yang akan dilakukan polisi," ujarnya.
Terkait kasus pelecehan seksual yang dilaporkan seorang mahasiswi berinisial L, jurusan Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Riau (Unri).
Masih Tahap Penyelidikan
Sementara itu, Kapolresta Pekanbaru Kombes Pol Pria Budi melalui Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru Kompol Juper Lumban Toruan mengatakan, terkait persoalan ini pihaknya sudah menerima laporan tersebut dan masih dalam tahap penyelidikan.
"Masih dalam tahap penyelidikan dan proses pemanggilan saksi," kata Juper.
Lebih lanjut Juper mengatakan, pihaknya masih mencari alat bukti terkait laporan tersebut. " Hari ini (Senin, red) belum ada saksi yang diperiksa sebagai saksi dan kita masih mencari alat bukti dan belum menerima alat bukti baik dari pihak korban kepada kita, " jelasnya.
Pendampingan Psikolog
Pendampingan psikolog diberikan pada mahasiswi Fisip Unri Riau yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh dosen pembimbingnya. Korban saat ini masih dalam kondisi trauma dan takut.
Pendampingan psikolog ini diberikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Pekanbaru atas permintaan Polresta Pekanbaru.
Disampaikan Kepala DP3A Pekanbaru Chairani, Senin (8/11) kemaren, pihaknya sudah melakukan pendampingan sejak Jumat (5/11) lalu. "Dia (korban) melaporkan secara resmi ke Polresta bukan ke kami, tapi polresta minta tolong ke kami, dari sisi psikolognya. Dan Jumat itu kami langsung turun," jelasnya.
Chairani menjelaskan, pendampingan yang dilakukan terhadap korban saat ini masih dalam penjangkauan awal. Karena korban masih trauma dan takut.
"Memang harus pelan-pelan, karena masih trauma, lagi takut-takut, jadi tidak bisa kali minta keterangan. Jadi memang harus ada beberapa kali pendampingan," ungkapnya.
Menurutnya, dalam masa penjangkauan awal tersebut, korban belum bisa masuk ke tahap trauma healing nya. Untuk masuk ke trauma healing, Ia menilai psikolog harus mengenali terlebih dahulu orangnya atau korban.
Setelah itu lanjut Chairani, pelan-pelan masuk tahap pendampingan dan baru masuk ke trauma healing. "Jadi untuk saat ini masih penjangkauan awal. Tujuannya nanti, kalau dapat informasi yang jelas, baru masuk proses hukum, apakah nantinya penyidikan dan proses lainnya," jelasnya.
Ia menambahkan, bahwa pendampingan yang diberikan DP3A dalam kasus ini fokus pada psikis korban. "Kita untuk (pemulihan, red) psikisnya," ujarnya.(end/dof/bay/ali/gem)
Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru