Hasil hearing Komisi I DPRD Kota Pekanbaru dengan Asisten I
Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru M Noer MBS dan Kabid Tata Pemerintahan
(Tapem) Irma Novrita Selasa (15/12) kemarin, Ida mengakui sangat besar
dampaknya ketika Pemko tidak bisa mempertahankan 3 RW itu. "Dampaknya
banyak," katanya.
Menurut
Politisi Golkar ini, jika tidak bisa diperjuangkan otomatis administrasi
kependudukan Pemko tidak jelas. Sementara 2017 Pemko mau menghadapi
Pilkada.
"Kalau tidak
diupayakan lagi, tentu ada perubahan data kependudukan, dan tidak
mungkin bisa tercapai dalam satu tahun, sementara DPT itu harus
diterbitkan mulai Februari 2016 mendatang untuk disosialisasikan,"
ujarnya.
Dampak lain, kata Ida,
ada rumah warga, separuh masuk Pekanbaru dan separuh lagi
Kampar.Bagaimana akte lahir anak nanti, di Kampar atau di pekanbaru?
"Ini kan harus jelas juga," tambahnya lagi.
Selain
itu masalah NJOP tanah. Tidak mungkin juga dalam satu tanah ada dua
surat." Jadi banyak kerugian materil yang akan dialami masyarakfat
ketika 3 RW itu tidak dipertahankan," tuturnya.
Untuk
itu, mewakili Komisi I dan dari hasil hearing kemarin, Diminta kepada
pihak Pemko, setelah keluar (PP 1987) yang ada keluar itu hanya
instruksi mendagri, bukan permendagri.
Dan menurut pihak Pemko disampaikan Ida, dalam mendudukkan tapal batas itu tidak pernah tercapai kesepakatan, deadlock terus.
"Hal
ini menjadi pertanyaan, ketika tidak pernah mencapai kesepakatan,
mengapa pihak Pemko berani mengeluarkan surat tanah,IMB, lalu akta
kelahiran anak, dan KTP?" ungkapnya.
Batas
wilayah Pekanbaru-Kampar itu disebutkan Ida jelas sebenarnya, Sungai
Mintan. "Saat ini Sungai Mintan itu sudah ditimbun oleh oknum sehingga
membuat batas itu hilang," sebutnya.
"Surat Bupati Kampar tahun 2009 dengan SK Wali Kota Herman Abdullah Saat itu, sebenarnya sudah duduk batas wilayahnya, tapi mengapa sekarang jadi ribut lagi," tegas Ida.(***)
Editor: Yudi Waldi