MOSKOW (RIAUPOS.CO) --- Orang-orang berbicara ... wartawan Inggris, pakar dari televisi, Mereka meremehkan Kroasia malam ini dan itu adalah kesalahan besar. Semua kata-kata mereka yang kami ambil, kami baca, dan kami berkata: "Oke, hari ini kita akan melihat siapa yang akan lelah. Mereka harus lebih rendah hati dan lebih respek terhadap lawan mereka"
Bagi Luka Modric, kemenangan 2-1 Kroasia atas Inggris di semifinal Piala Dunia 2018, Kamis (12/7) dini hari di Luzhniki Stadium, Moskow, lebih dari sekadar pembuktian. Dalam kondisi kelelahan yang terlihat di babak pertama mereka harus menahan gempuran dan serangan Inggris sejak menit awal. Gol dari tendangan bebas Kieran Trippier ketika pertandingan baru berjalan 5 menit, adalah hukuman langsung dari buruknya permainan Kroasia. Mereka sering salah umpan, salah kontrol, umpan tak terukur, dan pertahanan mudah ditembus.
Namun pelan tapi pasti --apa yang diucapkan oleh Modric seperti dikutip The Guardian di atas Kroasia mulai membenahi pendekatan tekniknya, meski tetap belum bisa menghapus fakta bahwa mereka benar-benar kelelahan. Dua kali melalui pertandingan dengan adu penalti di 16 Besar dan perempatfinal, memang sangat menguras tenaga mereka.
Bersama Marcelo Brozovic dan Ivan Raktic, Modric membuat lapangan tengah mulai bermain baik dalam mengalirkan bola, membangun kreativitas dalam menyerang dan bertahan, dan melawan rasa lelah dengan semangat yang luar biasa. Dua gol yang dibuat oleh Ivan Perisic di menit ke-68 dan Mario Mandzukic menit 109 saat perpanjangan waktu, adalah hasil dari sebuah usaha keras yang tak kenal menyerah. Meski akhirnya Modric 'menyerah' dan keluar lapangan dimenit ke-119, Inggris tetap tak bisa menghalangi tim asuhan Zlatko Dalic ini untuk menantang Prancis di final tanggal 15 Juli nanti.
Di tangan Dalic, Kroasia 2018 bisa melampaui generasi emas 1998 yang hanya sampai ke semifinal sebelum dikalahkan tuan rumah Prancis yang akhirnya menjadi juara --dan final nanti merupakan ulangan semifinal 1998 itu. Tak ada yang percaya bahwa Dalic bisa membawa Kroasia mencatat sejarah penting bagi negara yang berdiri 1991 ini setelah lepas dari Federasi Yugoslavia. Maklumlah, Dalic bukanlah mantan pemain tenar yang bermain di klub-klub besar Eropa. Juga bukan pelatih besar.
Dari empat pelatih semifinalis, Dalic-lah pelatih yang masa lalunya 'gelap'. Bandingkan dengan Didier Deschamp (Prancis), Gareth Southgate (Inggris), dan Roberto Martinez (Belgia). Semasa jadi pemain, Dalic hanya berkutat di klub-klub lokal Yugoslavia/Kroasia seperti Hajduk Split, Velez, Varteks, dan lainnya. Setelah menjadi pelatih, sekali lagi, dia juga menangani klub-klub lokal seperti Rijeka, Varteks, Dinamo Tirana (Albania), Slaven Belupo, sebelum kemudian pergi ke Jazirah Arab (Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) menangani Al-Faisaly, Al-Hilal, dan Al-Ain.
Hingga 2014, kariernya pasang-surut dengan prestasi terbaiknya cuma mengantar Al-Ahli memenangi Piala Mahkota Raja Saudi 2013 dan finis runner-up Liga Saudi 2012/2013. Di Al-Ain, baru kariernya meroket. Ia membawa klub UEA itu menjuarai Piala Presiden UEA 2013/2014, Liga Teluk 2014/2015, Piala Super Teluk 2015 dan menjadi runner-up Liga Champions Asia 2016.
Bekal minim itulah yang dibawanya ketika Federasi Sepakbola Kroasia (HNS) menunjuknya sebagai pelatih pada 7 Oktober 2017 menggantikan Ante Cacic yang dianggap gagal setelah Piala Eropa 2016. Presiden HNS, Davor Suker (mantan pemain Real Madrid, top skor Piala Dunia 1998) dianggap berjudi menunjuk Dalic. Sebab, kata banyak orang, Kroasia pantasnya dilatih oleh pelatih-pelatih dengan nama besar. Hanya itu solusi yang bisa mengantar Kroasia ke Rusia.
Di kualifikasi, meski tertatih, Dalic mengantar Kroasia menjadi runner-up di bawah Islandia dengan meraih enam kemenangan, dua kali kalah, dan dua kali imbang. Vatreni harus melewati babak play-off dan mengalahkan Yunani 4-1 dalam dua leg untuk mengunci tiket ke Rusia.
Dibanding skuat 1998 yang mewah, skuat 2018 tak dianggap biasa saja dengan pengecualian pada Modric dan Rakitic. Ditangani pelatih legendaris Miroslav Blazevic, Kroasia 1998 punya penyerang hebat Real Madrid, Davor Suker, dan Goran Vlaovic (Valencia). Juga punya bek-bek cadas pada diri Igor Stimac (Derby County), Slaven Bilic (Everton), Zvonimir Soldo (VfB Stuttgart), Igor Tudor (Hajduk Split/Juventus), Robert Jarni (Real Betis/Juventus), atau Dario Simic (Croatia Zagreb/AC Milan). Di lini tengah, kemewahan Kroasia juga terlihat pada diri Robert Prosinecki (Croati Zagreb), Zvonimir Boban (AC Milan), Aljosa Asanovic (Napoli), Mario Stanic (Parma), dan beberapa pemain lainnya yang setelah Piala Dunia 1998 dikontrak klub-klub besar.
Duet Modric-Rakitic di tim sekarang, mengingatkan kita pada duet Boban-Prosinecki di 1998. Jika dibuat trio, maka Modric-Rakitic-Brozovic seperti titisan Boban-Prosinecki-Soldo. Dan jika dibuat kuarted, maka Modric-Rakitic-Brozovic-Perisic dianggap sebanding dengan Boban-Porsinecki-Soldo-Asanovic. Kuarted ini menjadi kekuatan lapangan tengah Kroasia di dua generasi ini saat menguasai permainan. Intinya, merekalah generator yang menggerakkan permainan. Jika generator itu mati, maka habislah Kroasia.
Saat melawan Inggris, Modric-Rakitic-Brozovic-Perisic awalnya seperti ogah-ogahan dan terus berada dalam tekanan Harry Kane, Raheem Sterling, Delle Ali dan seluruh punggawa Inggris. Namun, pelan-pelan kemudian mereka mengontrol permainan. Jelas, yang menjadi bintang dalam pertandingan itu adalah eksploitas Perisic yang sama dengan Modric dan yang lain harus melupakan kelelahan dan rasa sakit untuk terus bertarung. Sementara Brozovic harus menjadi pivot yang menyaring serangan lawan menuju jantung pertahanan, dan menyalurkan bola kepada Rakitic atau Modric. Modric-lah yang kemudian mengatur jalannya bola, dan Rakitic menjadi pendobrak di lini kedua. Di sisi lain, peran Ante Rabic dan Mandzukic yang terus berlari dan tiba-tiba ada di kotak penalti, membuat Inggris terlihat kewalahan, terutama sejak babak kedua dan perpanjangan waktu.
Tapi intinya lagi, duet Modric-Rakitic adalah roh permainan Kroasia. Mereka bermain saling mengisi di tengah tekanan para gelandang Inggris yang juga bagus dengan Jordan Hendersson sebagai jendral di sana. Modric-Rakitic telah menjelaskan bahwa pertarungan lokal yang begitu tinggi di dua klub yang mereka perkuat (Real Madrid dan Barcelona), malah menjadikan harmoni keduanya saat berbaju 'papan catur' milik Kroasia. Jelas, semua itu adalah peran seorang Dadic, pelatih dengan masa lalu gelap yang kini mengubah sejarah negeri bernama asli Republika Hrvatska ini.
Dadic, Modric, Rakitic, Perisic, Mandzukic, dan seluruh pemain Kroasia telah menjelaskan kepada kita, bahwa kelelahan fisik tak akan ada artinya dibanding spirit untuk sebuah pembuktian: Kalian salah telah meremehkan kami yang kalian anggap kecil!***