JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyatakan bahwa proses hukum atas kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) harus terus berjalan.
Dia menyebutkan, persoalan yang sempat muncul pasca penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan anak buahnya, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto tidak perlu diperdebatkan lebih jauh.
Keterangan itu disampaikan oleh Mahfud agar penegakan hukum yang sudah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berhenti. Bagi Mahfud, kelanjutan proses hukum lebih penting. Karena itu, dia menyampaikan bahwa penegakan hukum atas substansi masalah tersebut harus terus dilakukan. Substansi masalah yang dimaksud oleh Mahfud adalah dugaan tindak pidana korupsi. ”Sebab, KPK sudah mengaku khilaf secara prosedural,” kata dia, Ahad (30/7).
Di sisi lain, Mahfud menyebut, TNI sudah menerima substansi masalah yang terjadi. ”Yakni sangkaan korupsi untuk ditindaklanjuti berdasar kompetensi peradilan militer,” beber dia.
Karena itu, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan terkait prosedur penetapan tersangka berlatar belakang personel TNI aktif tersebut. ”Masalah korupsi yang substansinya sudah diinformasikan dan dikoordinasikan sebelumnya kepada TNI harus dilanjutkan dan dituntaskan melalui pengadilan militer,” ujarnya.
Pejabat asal Madura itu menegaskan, perdebatan dan polemik yang belakangan muncul di ruang publik tidak boleh membuat substansi perkara menjadi kabur. Meski tidak sedikit kritik bernada pesimis terhadap peradilan militer, Mahfud yakin personel TNI yang melanggar hukum bakal dihukum berat. ”Biasanya jika suatu kasus sudah bisa masuk ke pengadilan militer sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas,” kata dia.
Dorongan agar KPK menuntaskan penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas juga disampaikan oleh kelompok masyarakat sipul.
Diantaranya Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf. Dia bahkan mempertanyakan sikap KPK yang belum mengeluarkan sprindik terhadap dua prajurit aktif TNI yang diduga menerima suap proyek pengadaan di Basarnas. Padahal, secara ketentuan, KPK punya dasar untuk melakukan hal tersebut.
Apalagi, diketahui bahwa prajurit TNI aktif itu mengemban tugas sebagai penyelenggara negara atau berdinas di lembaga negara yang mestinya juga harus tunduk pada aturan sipil. Bukan hanya tunduk terhadap aturan militer yang berlaku. ”Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap,” ujarnya.
Al Araf tidak sepakat dengan dalil yang menyebut bahwa penetapan prajurit TNI aktif sebagai tersangka hanya bisa dilakukan oleh penyidik TNI. Menurutnya, dalil itu bisa dipatahkan karena kasus dugaan korupsi di Basarnas tidak ada kaitan sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer.
Menurut dia, Kabasarnas dan anak buahnya yang terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dapat diproses hukum oleh Lembaga Antirasuah.
Namun demikian di luar perdebatan teknis tersebut, Al Araf berharap peristiwa OTT di lingkungan Basarnas dapat menjadi momentum untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tujuannya agar UU tersebut tidak menjadi sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.
”Pemerintah juga wajib mengevaluasi keberadaan prajurit aktif di berbagai instansi sipil,” ujarnya.
Senada dengan Al Araf, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menyampaikan bahwa Kabasarnas harusnya bisa diproses hukum lewat mekanisme peradilan umum. Keterangan itu disampaikan melalui diskusi yang dilaksanakan di Jakarta kemarin. “Ketika ada penugasan di Basarnas, ketentuan jabatan administrasi TNI tidak berlaku lagi,” ungkap dia. Karena itu, pihaknya bersama Koalisi Masyarakat Sipil menyayangkan sikap KPK.
Menurut Isnur, pimpinan KPK mestinya tidak perlu menyampaikan permohonan maaf. Apalagi sampai menyalahkan tim yang sudah bekerja. ”KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut,” terang dia. Dia menambahkan, KPK bisa mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.
Di samping itu, Isnur menyampaikan bahwa kasus dugaan korupsi di Basarnas harus menjadi bahan evaluasi pemerintah. Khususnya terkait dengan penempatan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil. ”Terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut,” bebernya.
Pasca pengungkapan kasus dugaan korupsi di Basarnas, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono sudah menegaskan harus dilakukan evaluasi. Dia meminta seluruh jajarannya untuk mawas diri dan tidak hanya melihat dari sudut pandang pemberitaan negatif. Yang penting bagi Yudo, hal serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Pesan itu berlaku bagi personel yang bertugas di dalam maupun di luar organisasi TNI.
Secara tegas, Yudo menyampaikan hal itu kepada para personel TNI yang sudah akan melaksanakan tugas di luar tubuh TNI. ”Para pejabat yang nantinya bertugas di luar, Pak Marsdya Kusworo yang nantinya di Basarnas, Pak Irvansyah yang nanti di Bakamla, tolong jangan lepas dari induknya,” pinta Yudo. ”Harus tetap ditanamkan ke diri masing-masing, bahwa aku ini TNI,” tambah mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) tersebut.
Merujuk keputusan Panglima TNI yang diteken oleh Yudo pada 17 Juli lalu, Marsekal Madya TNI Kusworo menjadi kepala Basarnas yang baru. Sementara Laksamana Madya TNI Irvansyah diberi tugas untuk menggantikan Laksamana Madya TNI Aan Kurnia sebagai kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla). Kepada mereka berdua, Yudo meminta seluruh personel TNI di Basarnas dan Bakamla juga dibina dengan baik. Sebab, tidak sedikit personel TNI bertugas di kedua lembaga tersebut.(syn/tyo/das)
Laporan JPG, Jakarta