JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Partai politik pendukung sistem pemilu proporsional terbuka bereaksi dengan isu dugaan bocornya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi sistem proporsional tertutup. Jika uji materi tersebut benar dikabulkan, para calon anggota legislatif (caleg) akan dirugikan. Karena itu, mereka akan melakukan protes, bahkan meminta ganti rugi kepada MK.
Selasa (30/5) delapan fraksi di DPR RI dari parpol pendukung sistem proporsional terbuka memberikan pernyataan menyikapi putusan MK terkait sistem pemilu. Hadir dalam acara itu Ketua Fraksi Golkar Kahar Muzakir, Ketua Fraksi Partai Nasdem Roberth Rouw, Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dan Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay. Lalu, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, Sekretaris Fraksi PKB Fathan Subchi, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman, dan Wakil Ketua Umum DPP PPP Amir Uskara.
Kahar Muzakir mengatakan, saat ini proses pemilu sudah berjalan. Partai politik juga sudah menyampaikan daftar calon sementara (DCS) kepada KPU. ”Setiap partai memiliki caleg dari DPRD sampai DPR RI kurang lebih 20 ribu orang,” terangnya.
Jika ada 15 partai, maka ada 300 ribu caleg. Jika sistem pemilu diubah menjadi tertutup, kata dia, para caleg akan kehilangan hak konstitusionalnya karena masyarakat akan memilih partai politik. Para caleg akan melakukan protes dan meminta ganti rugi. Sebab, mereka sudah mengeluarkan biaya dalam mengurus pendaftaran sebagai caleg.
”Bayangkan 300 ribu orang itu minta ganti rugi dan berbondong-bondong datang ke MK. Agak gawat juga MK itu,” ungkap politikus senior Golkar itu. ”Jadi, kalau ada yang coba mengubah-ubah sistem itu, maka orang yang mendaftar sebanyak itu akan memprotes,” bebernya.
Roberth Rouw meminta MK tidak membuat gaduh politik dengan memutuskan sistem pemilu yang berbeda. Menurut dia, partai politik sudah menjalani persiapan tahun pemilu selama setahun. Tinggal beberapa bulan lagi pemilu akan digelar. Para caleg dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat juga akan bereaksi. ”Jadi, sekali lagi kami mohon agar sebagai pimpinan tertinggi, kepala negara (Presiden) ikut juga untuk memberikan dukungan agar MK tidak bermain-main,” ungkapnya.
Jika sistem kembali ke proporsional tertutup, menurut Saleh Daulay, pesta demokrasi tidak bisa berjalan dengan seru. Sebab, masyarakat tidak mengetahui siapa yang mereka pilih. Berbeda dengan sistem terbuka, semua orang bisa menonton.
Pada 2008, MK pernah memutuskan dari sistem tertutup menjadi terbuka. Saleh menegaskan bahwa putusan MK itu final dan mengikat. Jadi, aneh kalau kemudian diputuskan kembali ke tertutup. ”Maka PAN sungguh-sungguh minta pemilu yang akan datang proporsional terbuka,” jelasnya.
Senada, Ibas menyatakan bahwa Partai Demokrat tetap konsisten dengan sistem proporsional terbuka. Sebab, sistem terbuka adalah sistem terbaik. Partai politik juga sudah mengikuti tahapan-tahapan pemilu. Mereka siap menghadapi pilpres dan pileg yang digelar pada 14 Februari 2024.
Partai Demokrat bersama tujuh partai di parlemen mengingatkan kepada hakim-hakim MK agar memutuskan yang terbaik untuk bangsa. ”Yang bisa mengganti (sistem pemilu) seperti yang diamanatkan UU adalah parlemen dan pemerintah,” tegas putra Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
Apabila MK mengeluarkan putusan sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup, itu akan menimbulkan kegaduhan dan berimplikasi pada proses teknis lapangan. ”Dan juga teknis persiapan-persiapan pemilu yang akan menyulitkan parpol,” paparnya.
Sementara itu, Denny Indrayana menegaskan bahwa dirinya tidak membocorkan putusan MK. Alasannya, memang belum ada putusan yang dikeluarkan lembaga tersebut. ”Saya menggunakan istilah mendapatkan informasi, bukan mendapatkan bocoran. Saya memakai istilah MK akan memutuskan, memang belum ada keputusan,” ucapnya.
Dia menyatakan, informasi terkait putusan MK itu bukan bersumber dari MK, sehingga bukan pembocoran rahasia negara. ”Kalau bocornya dari MK, maka ada pembocoran rahasia negara. Tetapi, karena informan saya bukan dari MK, maka tidak ada pembocoran rahasia negara,” tegasnya.
Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus bersiap meski MK belum memutus uji materi sistem pemilu. Sejauh ini tahapan dan perencanaan tetap disesuaikan dengan model sistem terbuka.
Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan, pihaknya patuh pada salah satu prinsip penyelenggaraan pemilu, yakni berkepastian hukum. Oleh karena itu, meski isu perubahan sistem pemilu berembus, penyelenggara tetap berpegang pada hukum positif. ”Oleh karena itu, saya belum bisa merespons isu-isu politik yang bersifat spekulatif,” ujarnya.
Dia enggan berkomentar soal kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Pihaknya akan menunggu dan menghormati putusan MK. ”KPU akan menjalankan hukum positif pemilu atau norma-norma yang ada dalam UU Pemilu yang masih efektif berlaku,” ujarnya.
Karena itu, semua tahapan tetap didesain secara proporsional terbuka. Surat suara, misalnya. KPU tetap mendesain dengan basis nama caleg terbuka. Dalam surat suara yang diperkenalkan dalam rapat konsultasi di DPR, tiga surat suara untuk pileg menyertakan nama caleg.
Desain yang disiapkan KPU secara prinsip sudah mendapat persetujuan DPR. Yakni, empat kolom menyamping dan lima kolom ke bawah yang berisi 18 partai nasional. Bukan hanya itu, verifikasi berkas terhadap bacaleg juga terus berjalan. Hingga kini, dari 18 partai politik (parpol), progres yang sudah selesai verifikasi administrasi ada di kisaran 32 persen.
Secara terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono menegaskan, aspek tahapan pemilu akan dipertimbangkan majelis. Dalam memutus uji materi, para hakim akan melihat kondisi, termasuk tahapan yang sudah masuk pendaftaran caleg.(lum/far/c17/fal/jpg)