PERLU SUBSIDI SILANG

Pertamina Hindari Pemecatan Karyawan

Nasional | Minggu, 31 Januari 2016 - 10:30 WIB

Pertamina Hindari Pemecatan Karyawan
Dwi Soetjipto

RIAUPOS.CO - Penurunan harga minyak dunia mulai menimbulkan dilema bagi PT Pertamina. Potensi pemangkasan karyawan sangat terbuka karena biaya produksi di beberapa lokasi pengolahan milik perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu lebih tinggi dibandingkan harga jualnya sehingga jika diteruskan berpotensi merugi.

Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengatakan opsi pengurangan karyawan bisa terjadi di level upstream (hulu) dan midstream (pengolahan). Saat ini perseroan memiliki beberapa lokasi yang ongkos produksinya lebih tinggi dibandingkan harga minyak dunia.

Baca Juga :Berikan Tambahan Modal bagi UMKM dan Peternak

”Lihat beberapa kondisi. Karena memang harga pasar (turun) seperti itu tetapi kan kita sendiri, aset produksi yang sedang kita lakukan, termasuk offshore (pengeboran lepas pantai), itu kan di atas (harga pasar) itu biaya produksinya. Misalnya blok West Madura itu sekitar 40-an dolar AS per barel. (Pertamina Hulu Energi) ONWJ (offshore north west java) juga di atas 30 dolar AS per barel,” ungkapnya ditemui di sela diskusi Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (IKA ITS) di hotel Grand Kemang, Jakarta, kemarin (30/01).

Pada akhir pekan kemarin harga minyak mentah dunia berada di level 33,2 dolar AS per barel (WTI) dan 33,74 dolar AS per barel (Nymex).

Kondisi itu memunculkan pertanyaan apakah Pertamina akan menghentikan produksi atau tetap bertahan dengan risiko hampir pasti merugi. Memang masih ada kemungkinan kerugian tidak terlalu parah dalam kondisi tetap beroperasi yaitu mengombinasikan antara pos produksi yang masih untung untuk menutupi kerugian di pos produksi lainnya.

Opsi tetap produksi tanpa mengurangi jumlah karyawan masih diupayakan. Terlebih, kata Dwi, Pertamina merupakan perusahaan milik negara yang dijalankan tidak semata bicara keuntungan. ”Kita kan tidak hanya bicara profit tapi juga penyediaan tenaga kerja. Jadi mix (subsidi silang pos untung dan rugi) ini harus diperhitungkan sehingga penentuan harga jual di lapangan seperti apa,” pikirnya.

Dikaitkan dengan strategi harga jual di hilir terutama berupa bahan bakar minyak (BBM), masih ada waktu sampai Maret 2016 untuk meninjau kembali revisi harga. Khususnya BBM yang harganya masih diatur pemerintah seperti bensin Premium dan solar bersubsidi. ”Kalau yang ada di kewenangan Pertamina seperti Pertamax, avtur, gas non 3 kg, itu sudah dilakukan penurunan harga,” ucap mantan pemimpin PT Semen Indonesia Tbk itu.

Secara pribadi, Dwi lebih memilih agar semua aset tetap produksi dalam rangka mewujudkan kedaulatan energi. Konsumsi minyak dalam negeri saat ini sebesar 1,6 juta barel per hari namun kapasitas kilang baru mencapai 800 ribu barel per hari. Kekurangannya masih impor.

Daripada impor, menurutnya, lebih baik ajak investor untuk terus meningkatkan kapasitas produksi di dalam negeri sehingga selain kebutuhan terpenuhi juga bisa memberikan nilai tambah lain dan membuka lapangan kerja. ”Itu yang harus diperhatikan,” tegasnya.

Sebab walau bagaimanapun akan tetap sulit bersaing di ritel alias hilir jika hulunya sendiri masih tergantung kepada orang lain.  Dwi sudah menawarkan semacam tantangan kepada tim di Pertamina dengan istilah puasa. ”Istilah saya adalah puasa. Artinya, kesejahteraan kita turunkan untuk bisa hidupi semuanya. Tentu kalau dibutuhkan. Tapi kita coba survive dulu,” tekadnya.

Efisiensi memang mutlak. Segala biaya akan coba ditekan oleh perseroan sambil terus berupaya meningkatkan pendapatan. ”Revenue (pendapatan) kita naikkan walaupun sedikit karena harga lagi turun. Konsentrasinya survive. Dalam arti cost diturunkan. Kedua, cash management. Ini dibutuhkan untuk investasi di upstream dan midstream tadi,” terusnya.

Pertamina saat ini sedang menata strategi seperti apa yang akan dijalankan untuk menggerakkan itu semua tanpa harus mengorbankan karyawan. Harga minyak di awal asumsinya sebesar USD 50 per barel namun saat ini sudah turun sekitar 40 – 50 persen. Maka efisiensi juga harus mencapai angka persentase itu. ”Oke laba nanti mungkin sedikit, tidak apa-apa yang penting jangan sampai bleeding (berdarah-darah),” pikirnya.

Situasi memang sedang sulit untuk industri komoditi terutama akibat penurunan harga minyak. Banyak perusahaan migas terutama shale oil merugi. Saat ini biaya produksi minyak (shale oil) paling murah adalah sebesar 8,5 dolar AS di Kuwait, Arab Saudi 9,9 dolar AS  dan Irak sebesar 10,7 dolar AS.

New York Times melaporkan bahwa ada sekitar 250 ribu pekerja perusahaan minyak yang di-PHK. Hal itu terjadi karena turunnya harga minyak secara drastis membuat pendapatan dari perusahaan minyak turun drastis. Beberapa perusahaan minyak seperti Chevron, Royal Dutch Shell dan British Petroleum (BP) mengaku mengurangi jumlah karyawan untuk efisiensi.(gen/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook