JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kasus pelajar SMP (15) di Tarakan, Kalimantan Utara yang bunuh diri pada 27 Oktober 2020 akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) bukanlah kasus yang pertama. Sebelumnya, terdapat siswi (17) di Kabupaten Gowa, stres akibat tugas menumpuk dan seorang murid SD (8) yang mengalami penganiayaan dari orangtuanya sendiri karena sulit diajari PJJ.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti pun mengatakan, dengan hilangnya 3 nyawa peserta didik selama menjalani PJJ, pihaknya mendorong Kemendikbud, Kemenag, Disdik dan Kanwil Kemenag untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan PJJ pada fase kedua yang sudah berjalan selama 4 bulan ini.
"Tidak ada kasus bunuh diri siswa, bukan berarti sekolah atau daerah lain PJJ-nya baik-baik saja, bisa jadi kasus yang mecuat ke publik merupakan gunung es dari pelaksanaan PJJ yang bermasalah dan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis anak, tidak didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak," tegasnya dalam keterangan resmi, Jumat (30/10).
Pihaknya juga akan bersurat pada pihak-pihak terkait untuk pencegahan dan penanganan peserta didik yang mengalami masalah mental dalam menghadapi PJJ di masa pandemi. Mengingat PJJ secara daring berpotensi membuat anak kelelahan, ketakutan, cemas, dan stress menghadapi penugasan yang berat selama PJJ.
"Para guru bimbingan konseling (BK) dapat diberdayakan selama PJJ di masa pandemi, sehingga masalah gangguan psikologis pada para siswa dapat diatasi segera untuk mencegah peserta didik depresi hingga bunuh diri," tambahnya.
Walikelas dan guru kelas juga seharusnya dibantu dan dilatih untuk mampu memetakan dan mendeteksi siswa yang dapat mengikuti PJJ daring dan yang tidak. "Untuk siswa yang mengalami kesulitan mengikuti PJJ, maka pihak sekolah harus berkoordinasi dengan orang tuanya dan bersinergi membantu kesulitan anaknya," jelas Retno.
Sebelumnya, diketahui bahwa korban baru PJJ dari Tarakan ini bunuh diri dengan cara menggantung dirinya di kamar mandi kediamannya. Hal ini di karenakan tugas yang menumpuk serta surat peringatan dari pihak sekolah membuatnya stres.
"Tewasnya siswa yang berusia 15 tahun tersebut mengejutkan kita semua, apalagi pemicu korban bunuh diri adalah banyaknya tugas sekolah daring yang menumpuk yang belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru. Padahal syarat mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas tersebut," ungkap Retno.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi