Tarif Listrik Batal Naik

Nasional | Minggu, 29 Desember 2019 - 11:07 WIB

Tarif Listrik Batal Naik
Arifin Tasrif (Menteri ESDM)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pemerintah akhirnya membatalkan kenaikan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900 VA bagi rumah tangga mampu (RTM). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan, keputusan itu terhitung sejak 1 Januari 2020 mendatang.

Arifin menjelaskan, alasan pembatalan kenaikan tarif listrik itu disebabkan karena pertimbangan stabilitas ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat. "Belum (ada kenaikan). Kita jaga kestabilan dulu," ujarnya di Jakarta, akhir pekan.


Rencana kebijakan tarif adjustment dinilai pemerintah belum perlu. Meski, PT PLN (Persero) tengah mengajukan permohonan penyesuaian kepada Kementerian ESDM. Pemerintah pun meminta kepada PLN untuk melakukan verifikasi data pelanggan 900 VA terlebih dahulu secara akurat. Sehingga kebijakan akan kenaikan tarif tepat sasaran.

"Kita masih melakukan pendataan yang lebih detail supaya tidak salah sasaran. Sampai PLN siapkan dengan data-datanya. Kan harus lewat banyak (lembaga) ini," tegas Arifin.

Nantinya, pendataan pelanggan PLN akan disesuaikan dengan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah pelanggan golongan Rumah Tangga Mampu. Sesuai data PLN per 31 Oktober 2019, jumlah pelanggan 900 VA RTM tercatat sebanyak 22,1 juta. Adapun pada 2020 mendatang jumlah pelanggan diproyeksikan sebanyak 24,4 juta.

Tarif listrik golongan 900 VA RTM yang bersubsidi tercatat mencapai Rp1.352 per kilo Watt hour (kWh) dengan jumlah pelanggan mencapai 24,4 juta pelanggan. Sementara itu, tarif golongan nonsubsidi (tarif adjustment) 1.300 VA hingga 6.600 VA ke atas dipatok Rp1.467,28 per kWh.

Meskipun begitu, kebijakan pembatalan kenaikan tarif listrik itu tidak akan memberikan tambahan subsidi listrik sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020.

Arifin pun mendorong PLN agar mampu meningkatkan efisiensi salah satunya dengan mengurangi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada pembangkit listriknya. "Masih banyak yang bisa dihemat. Kami arahkan segera dikonversi ke energi murah. Dengan begitu bisa lebih efisien," jelasnya.

Langkah lain adalah mempersiapkan regulasi terkait perpanjangan kebijakan harga batu bara khusus di dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). "Melalui aturan ini kita ingin menjaga supaya tarif listrik tidak naik karena ekonomi global belum membaik sehingga kita perlu menjaga industri bisa bangkit," tambah Arifin.

Target DMO diputuskan tetap 25 persen dari produksi batu bara dan harganya 70 dolar AS per ton. "Tetap, tetap lanjut stabil. Iya (tidak ada perubahan aturan), sama lah biasa (25 persen)," imbuhnya.

Sebagai informasi, DMO diatur melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1410 K/30/MEM/2018. Berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1410 K/30/MEM/2018 tersebut harga batu bara untuk PLN juga dipatok maksimal USD 70 per ton.

Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Saadiah Ulluputy meminta agar PLN tidak menaikkan tarif dasar listrik bagi pelanggan, khususnya masyarakat. Menurutnya, kondisi rasio elektrifikasi kelistrikan saat ini mengalami kenaikan secara signifikan, namun tidak diimbangi dengan ketahanan listrik. "Namun yang menjadi catatan rasio elektrifikasi di daerah 3 T yang hanya menyala 6 jam dalam sehari," ungkapnya.

Dari beberapa negara yang ada, lanjut Saadiah, tarif listrik di Indonesia tergolong mahal dibandingkan dengan sejumlah negara yang ada di dunia. Selain itu, kondisi perekonomian global justru mendukung pemerintah untuk menurunkan tarif listrik, di mana faktor-faktor pembentuk harga keekonomian listrik mengalami penurunan, seperti harga minyak bumi Indonesia (ICP), nilai tukar kurs rupiah dan tingkat inflasi.

Sementara itu, Pengamat Energi Mamit Setiawan memandang, pembatalan kenaikan tarif itu cukup disayangkan. Menurut dia, sejauh ini pengguna listrik golongan 900 VA tercatat banyak.

Selain itu, golongan tersebut bisa dikatakan sebagai golongan menengah. "Dengan pembatalan ini jelas dampaknya pada keuangan PLN. Karena otomatis PLN harus memberi subsidi terlebih dulu kepada pengguna tersebut," ujarnya kepada JPG, kemarin.

Sesuai aturan yang berlaku, pemerintah wajib memberikan dana kompensasi kepada PLN karena adanya selisih harga keekonomian, tapi pada kenyataannya, pemerintah tidak langsung memberikan dana kompensasi tersebut. Jika dana itu tak kunjung dibayarkan oleh pemerintah kepada PLN, maka akan menjadi kewajiban hutang.

"Itu belum tahu kapan akan dibayarkan, tergantung APBN. Dengan kondisi itu, dampaknya otomatis kinerja PLN untuk pembangunan jaringan transmisi bisa terganggu. Pembangunan gardu maupun jaringan transmisi membutuhkan dana yang besar agar target rasio elektrifikasi bisa tercapai," jelasnya.

Adanya penundaan kenaikan tarif itu dikhawatirkan akan membuat target rasio elektrifikasi menjadi terganggu. Namun, di sisi lain, penundaan kenaikan tariff memang membuat beban masyarakat berkurang.(dee/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook