JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Publik boleh berharap bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) bisa menjadi solusi paling jitu untuk UU KPK yang baru. Meski demikian, pengamat hukum menilai desakan publik saat ini harus difokuskan pada proses penyusunannya yang bermasalah. Baru setelah itu menyasar substansinya yang menjurus ke pelemahan KPK. Presiden pun diharapkan konsisten setelah mengeluarkan Perppu.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana menegaskan kembali kejanggalan proses pembentukan UU tersebut. Selain berjalan sangat singkat, revisi UU KPK juga tidak masuk dalam program legislasi nasional. Sehingga seharusnya dibahas pun tidak bisa, apalagi disahkan. “Revisi ini tidak tepat dan melanggar peraturan, bahkan tata tertib DPR sendiri,” jelas Gita, kemarin.
Sikap pemerintah yang mempertimbangkan mengeluarkan perppu harus diapresiasi. Gita pun menilai Perppu menjadi satu-satunya jalan yang harus diambil dalam waktu dekat. Masyarakat juga perlu terus mengawal agar Perppu tersebut benar-benar terealisasi. Dan isinya benar-benar bisa membatalkan UU ini secara keseluruhan. “Kalau fokus ke materinya belum, jadi prosesnya dulu yang dikoreksi,” lanjutnya.
Terkait pasal-pasal kontroversial yang dianggap sebagai upaya pelemahan, Gita belum bisa banyak berkomentar. Memang ketika Perppu keluar, otomatis semua pasal di dalam revisi batal. Aturan yang dijadikan acuan kembali pada UU yang lama. Namun, tidak menutup kemungkinan DPR di periode selanjutnya kembali mengusulkan revisi itu. Dengan substansi yang bisa berbeda atau sama saja.
Hal tersebut mungkin tidak bisa dihindari. Namun, Gita menegaskan bahwa kali ini publik memiliki kesempatan lebih besar untuk ikut dilibatkan dalam pembahasan. Berbekal Perppu yang menyatakan bahwa proses pembentukan revisi UU sebelumnya bermasalah, maka publik punya landasan untuk menuntut DPR menaati prosedur pembentukan UU pada pembahasan berikutnya. “Kalau pemerintah bisa disiplin menjaga konten UU agar tidak seperti kemarin, saya rasa tidak akan terjadi masalah lagi,” jelasnya.
Idealnya menurut PSHK, perlu dilakukan perbaikan atau revisi UU yang lebih komprehensif serta menerima lebih banyak masukan, termasuk dari KPK sebagai pemangku kepentingan. Tidak langsung diputuskan secara sepihak seperti yang dilakukan pada revisi UU KPK kali ini.
Dikeluarkannya Perppu, lanjut dia, juga harus dilakukan sesegera mungkin jika Presiden berkomitmen membatalkan UU tersebut. Sebab, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah disahkan dan bisa berpengaruh pada sejumlah UU kontroversial yang dibahas kilat.
Salah satu celahnya adalah UU yang disahkan tidak perlu masuk prolegnas untuk disahkan, apabila kondisinya darurat. Kondisi darurat ini bisa diartikan beragam. “Saat ini karena revisi UU (PPP) baru, jadi sementara kita masih mengikuti UU yang lama,” terang Gita.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyampaikan kewenangan penerbitan perppu sepenuhnya ada di tangan presiden. DPR dipastikan tidak akan mempersoalkan hak konstitusional tersebut. Menurutnya, parlemen dalam posisi menunggu keputusan presiden. ’’Misalnya presiden perlu menerbitkan perppu karena dorongan publik, silakan saja,” kata Fadli Zon.
Sebelum mengeluarkan keputusan, dia berharap pemerintah sebaiknya menggelar rapat konsultasi dengan DPR. Agar muncul kesamaan pandang antara pemerintah dan DPR. Di sisi lain, dia menyesalkan sikap Presiden Jokowi yang mempertimbangkan perppu di tengah gelombang unjuk rasa mahasiswa dan dorongan publik yang begitu kencang. ’’Inilah inkonsistensi presiden. Seharusnya sejak awal dikaji. Kalau pemerintah tidak mau (revisi UU KPK, red) ya jangan keluarkan surpres (surat presiden, red),” imbuh Fadli Zon.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengatakan penerbitan perppu adalah domain presiden. Namun disampaikan, perppu belum memiliki urgensi yang kuat. Sebab UU KPK hasil revisi belum diberlakukan. Dia berharap UU KPK hasil revisi sebaiknya diberlakukan terlebih dahulu.
Jika dalam praktiknya regulasi tersebut menimbulkan persoalan, barulah ditempuh upaya hukum dengan mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). ’’UU KPK ini kan belum berlaku. Sehingga kita tidak tahu apakah UU ini melemahkan atau menguatkan KPK. Jadi biarkan berjalan dulu,” papar Arteria Dahlan.
Menurutnya, perppu bisa dihadirkan jika terjadi keadaan yang memaksa. Nah, menurutnya sejauh ini belum ada kegentingan sehingga presiden tidak perlu menerbitkan perppu. Dia bilang terlalu prematur jika UU KPK hasil revisi disebut akan mengganggu pemberantasan korupsi oleh KPK. Sebab UU tersebut belum dijalankan. ’’Justru menjadi pertanyaan sebaliknya. Ada UU sudah dirampungkan tetapi tidak dikerjakan,” tandas politisi PDI Perjuangan itu.
Arsul Sani, Anggota Komisi III DPR lainnya, menyampaikan, penerbitan perppu adalah tafsir subjektivitas presiden. (deb/mar/jpg)