PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - PERTAMINA memastikan pasokan biosolar dan pertalite cukup untuk memenuhi keperluan di wilayah Provinsi Riau. Pertamina Patra Niaga juga memastikan penyaluran BBM bagi masyarakat di Provinsi Riau berjalan dengan lancar dan aman. Namun, Pertamina juga mengajak warga untuk ikut mengawasi penyaluran BBM bersubsidi.
"Penyaluran BBM subdisi ada aturannya, baik dari sisi jumlah kuota maupun sisi segmentasi penggunanya. Masyarakat yang berhak menerima BBM subsidi diharapkan dapat mulai melakukan registrasi (ke aplikasi MyPertamina," kata Area Manager Communication Relation & CSR Sumbagut PT Pertamina Patra Niaga, Taufikurachman, Ahad (28/8).
Lebih lanjut disampaikan, pembayaran BBM Subsidi ini juga masih sama dengan transaksi seperti biasa yakni pembayaran tunai, kartu kredit/debit dan tidak terbatas dengan MyPertamina. Dia berharap masyarakat agar secara bersama-sama melakukan pengawasan BBM subsidi.
Pjs Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut Agustiawan menuturkan telah terjadi peningkatan konsumsi BBM bersubsidi."Kami mencatat bahwa terjadi peningkatan konsumsi produk BBM biosolar dan pertalite. Meningkatnya mobilitas masyarakat dan membaiknya kondisi pandemi Covid-19 menjadi beberapa alasan peningkatan permintaan tersebut," kata Agustiawan.
Sebagai informasi, hingga Juli 2022 konsumsi produk biosolar (subsidi) di Provinsi Riau sudah menyentuh 67 persen dari total kuota penyaluran tahunan. Adapun rata-rata konsumsi harian biosolar di Provinsi Riau mencapai 2.497 kl per hari, angka konsumsi tersebut terjadi peningkatan dibanding dengan Juli 2021 yaitu mencapai 2.253 kl per hari (yoy).
Khusus produk pertalite, hingga Juli 2022 sudah menyentuh angka 74 persen dari total kuota penyaluran tahunan. Rata-rata konsumsi harian di Provinsi Riau mencapai 2.799 kl per hari meningkat jika dibandingkan dengan Juli 2021 yang mencapai 1.950 kl per hari (yoy).
Pertamina senantiasa memastikan suplai BBM berjalan dengan baik seiring dengan adanya peningkatan kegiatan ekonomi yang terjadi di wilayah Provinsi Riau. Edukasi dan sosialisasi terkait penggunaan BBM tepat sasaran dan sesuai peruntukan. Pengguna solar subsidi telah diatur dalam Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014.
Aturan pembelian maksimum untuk solar subsidi telah diatur pula melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) No 04/P3JBT/BPH Migas/Kom/2020. "Selain itu, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022, produk pertalite ditetapkan sebagai jenis BBM khusus penugasan atau JBKP," ujarnya.
Selain itu, sehubungan dengan berbagai upaya dari aparat penegak hukum dan stakeholder terkait dalam menertibkan oknum/pihak penyalahguna BBM subsidi, Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya atas upaya yang telah dilakukan.
"Kami berharap kepada masyarakat untuk dapat membeli BBM sesuai dengan peruntukan dan spesifikasi kendaraannya. Sehingga, BBM subsidi dapat diakses oleh masyarakat yang benar-benar berhak sesuai dengan peraturan yang berlaku," kata Agustiawan.
Terkait, beredar kabar penerapan pembelian BBM bersubsidi di Riau menggunakan aplikasi MyPertamina berlaku mulai 1 September mendatang. Agustiawan menuturkan, belum ada surat edaran resmi dari pusat.
"Belum ada surat edaran. Tapi, kami mengimbau kepada masyarakat untuk bisa segera mendaftarkan kendaraannya melalui website subsiditepat.mypertamina.id agar masyarakat tetap bisa menikmati BBM bersubsidi ketika nantinya sudah ditetapkan pemberlakuan penggunaan QR Code," katanya, Ahad (28/8).
Agustiawan menyampaikan saat ini pihaknya belum menerapkan pembelian BBM subsidi menggunakan QR Code yang didapatkan setelah mendaftar di website subsiditepat.mypertamina.id. Saat ini pihaknya masih terus melakukan sosialisasi dan registrasi.
"Yang menetapkan kapan implementasi dilaksanakan itu bukan Pertamina, tapi pemerintah. Saat ini Pertamina hanya sosialisasi dan registrasi, bukan implementasi," tegasnya.
Dewan Sebut Warga Belum Siap
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Pekanbaru Ruslan Tarigan mengatakan, masih perlu waktu dan sosialisasi lagi untuk bisa diterapkan pembelian BBM di SPBU menggunakan aplikasi MyPertamina.
"Paling tidak, lakukan sosialisasi untuk beberapa pekan karena dari awal, masyarakat sudah banyak menolak. Jujur saja, masyarakat kita sebagian masih gaptek (gagal teknologi)," tegas Ruslan Tarigan Ahad (28/8).
Lebih dari itu, politisi Senior PDI-P ini meminta, agar Pertamina tidak lagi membatasi kuota solar di lapangan. Pastikan semua jenis stok lainnya tersedia. Apalagi jenis solar yang beberapa bulan belakangan ini dikeluhkan masyarakat. Tidak hanya kuota dibatasi, namun antrean panjang setiap hari selalu menghiasi SPBU.
"Kalau kita lihat, Pertamina tidak akan siap dengan programnya ini (MyPertamina). Tidak ada jaminan bahwa sinyal ponsel tidak akan lelet, kemudian perangkat ini bisa stand by setiap menit, " tuturnya.
Untuk itu, dia menyarankan maksimalkan sosialisasi dan solusi lainnya, seperti perangkatnya dan pendukung lainnya benar-benar siap. "Justru Pertamina kini, lebih baik fokus pembenahan manajemen secara menyeluruh untuk efisien dan penambahan kilang baru. Sehingga bisa tingkat produksi, dan untuk tekan biaya," tambahnya.
Ruslan Tarigan mengaku tidak sepakat dengan menaikkan harga BBM jenis solar dan pertalite dalam waktu dekat ini. Sebab, kondisi ekonomi masyarakat kini sedang susah. "Belum waktunya karena ekonomi belum pulih. Belum lagi jaringan lelet atau off line dan mati. Kan makin rumit lagi," katanya.
Begitu juga dengan Komisi IV DPRD Kota Pekanbaru yang membidangi persoalan ini, banyak yang tidak setuju. "Pertamina jangan latah. Buat kebijakan setengah-setengah. Bahkan sangat ironis. Untuk rakyat kok uji coba," tegas Anggota Komisi IV DPRD Pekanbaru Sigit Yuwono ST.
Sebelum kebijakan ini diterapkan, Sigit Yuwono sudah mengkhawatirkan, bahwa aplikasi MyPertamina akan bermasalah di lapangan, termasuk halnya tujuan penggunaan aplikasi tersebut, masih belum efektif untuk menekan subsidi BBM.
Sudah banyak masukan tentang ini. Jika memang masalahnya BBM subsidi dinilai tidak tepat sasaran, kan bisa dilihat dari spesifikasi cc kendaraannya. Bahkan bisa dibuat klasifikasinya di SPBU. "Jadi, Pertamina jangan buat masyarakat makin susah," tegasnya.
Dari beberapa hari yang sudah dilaksanakan, Sigit Yuwono mengatakan, Pertamina seharusnya sudah membuat hasil evaluasi kebijakan ini, termasuk menerima masukan dari rakyat, mana yang setuju atau yang tidak setuju.
Jangan jadikan kebijakan Pertamina ini seolah-olah baku, dan tidak bisa diubah. Apalagi ending dari kebijakan ini, kenyamanan dan kesejahteraan rakyat. "Jangan karena Pertamina tak bisa mengawasi pencurian dan permainan BBM, rakyat jadi sengsara. Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, termasuk juga Presiden Jokowi agar direspons cepat," harapnya.
Sementara itu, terkait rencana kenaikan BBM bersubsidi hingga kini belum final. Pemerintah mendapat berbagai masukan agar kebijakan yang akan diambil tidak memberatkan masyarakat dan memicu inflasi yang tinggi.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan, apabila pemerintah jadi menaikkan harga BBM bersubsidi, besarannya jangan sampai di atas Rp10 ribu per liter. "Kalau naiknya jadi Rp 10 ribu per liter untuk pertalite, saya sepakat. Tidak lebih dari Rp10 ribu per liter. Sebab, kalau sudah di atas Rp10 ribu per liter, lonjakan inflasinya pasti lebih tinggi dari perhitungan,"ujarnya, Ahad (28/8).
Harga solar subsidi, lanjut dia, idealnya sekitar Rp7 ribu per liter. Hitungan harga ideal Rp10 ribu per liter untuk pertalite dan Rp7 ribu per liter untuk solar itu bukan tanpa sebab. Mamit menyebutkan, ada komponen inflasi yang tentu akan menyertai kenaikan harga BBM bersubsidi. Dengan kisaran harga tersebut, kenaikan inflasi diproyeksikan mencapai 2 persen.
Menurut dia, inflasi saat ini mencapai 4–5 persen. Jika ada sumbangan inflasi 2 persen, inflasi total bisa mencapai 6–7 persen. "Kalau lebih dari Rp10 ribu per liter, tentu sangat besar juga inflasinya. Apalagi kalau solar lebih dari Rp7 ribu per liter akan sangat memberatkan karena terkait transportasi darat dan sarana distribusi,"urai Mamit.
Dia juga berharap rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi tetap dilakukan. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa mayoritas pengguna BBM bersubsidi justru masyarakat kelas menengah atas.
Adanya revisi Perpres 191 Tahun 2014 yang saat ini masih dalam finalisasi diharapkan dapat memuat pembatasan tersebut. Dalam beleid yang baru itu, ada acuan detail tentang kriteria kendaraan apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi. "Hampir seluruh penikmat BBM bersubsidi adalah masyarakat menengah ke atas. Dengan adanya pembatasan, saya kira pemberian subsidi bisa lebih klir dan tepat sasaran," tutur Mamit.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan terpisah membeberkan, harga BBM subsidi yang saat ini dijual masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Solar, misalnya, masih dijual Rp5.150 per liter. Jika menggunakan harga minyak mentah Indonesia atau ICP 105 dolar AS per barel dan kurs Rp14.700 per dolar AS, solar seharusnya berada pada harga Rp13.950 per liter.
"Jadi, harga yang dijual kepada masyarakat itu hanya 37 persennya. Artinya, masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63 persen dari harga keekonomiannya atau harga riilnya. Itu Rp 8.800 per liter," tutur dia.
Sementara itu, untuk pertalite yang saat ini berada pada harga Rp7.650 per liter, dengan ICP 105 dolar AS per barel dan kurs nilai tukar Rp14.700 per dolar AS, harga keekonomiannya seharusnya Rp14.450. Artinya, harga pertalite sekarang ini hanya 53 persen dari yang seharusnya.
BBM jenis pertamax dengan harga Rp12.500 per liter juga seharusnya memiliki harga Rp17.300 per liter. "Jadi, bahkan pertamax sekalipun yang dikonsumsi oleh mobil-mobil yang biasanya bagus, yang berarti pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mereka mendapatkan subsidi Rp4.800," katanya.
Begitu pula elpiji 3 kg. Saat ini harga jual per kg adalah Rp4.250. Namun, jika mengikuti harga riil, seharusnya Rp18.500 per kg. Dengan demikian, untuk setiap kg elpiji, konsumen mendapatkan subsidi Rp14.250. "Jadi, kalau setiap kali beli elpiji 3 kg, kita bayangkan mereka mendapatkan Rp42.000 lebih,"jelasnya.(anf/gus/dee/c6/fal/das)
Laporan TIM RIAU POS dan JPG, Pekanbaru dan Jakarta