JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluapkan kekecewaannya kepada para menteri dan kepala lembaga terkait penangan Covid-19 dan dampaknya. Secara tegas Jokowi mengatakan tidak ada progres signifikan dalam program-program penanganan Covid-19. Contoh bidang yang dia sorot adalah kesehatan.
Arahan tegas Jokowi itu disampaikan dalam pengantar sidang kabinet paripurna yang digelar 18 Juni lalu. Saat itu sidang kabinet berlangsung tertutup untuk wartawan. Video penyampaian arahan itu baru diunggah Sekretariat Presiden di channel YouTube resmi mereka, kemarin (28/6). Kepada para menteri dan kepala lembaga lainnya, Jokowi menegaskan saat ini kondisinya adalah krisis. Untuk itu dia meminta semua pejabat harus memiliki sense of crisis yang sama. Dia juga menyinggung OECD yang memperkirakan ekonomi dunia tumbuh minus 6 persen sampai 7,6 persen. Kemudian versi Bank Dunia tumbuh minus 5 persen.
"Jangan (bekerja, red) biasa-biasa saja. Jangan linier. Jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali kita," kata Jokowi.
Berkali-kali Jokowi bicara dengan nada tinggi. Kemudian juga dengan suara yang berat. Kening berkerut. Terkesan raup wajah yang kecewa. Jokowi mengatakan dirinya melihat masih banyak yang menganggap kondisi sekarang ini normal. Kemudian bekerja masih biasa-biasa saja. Dia menegaskan para menteri dan kepala lembaga harus bekerja ekstra luar biasa. Sebab menurut Jokowi kondisi saat ini sudah extra ordinary.
"Saya lihat masih banyak kita seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ," kata Jokowi.
Kenapa para pemegang kebijakan, seperti para menteri, tidak memiliki perasaan dengan suasana krisis. Dia lantas mengingatkan supaya belanja kementerian untuk ditingkatkan. Dia menerima laporan bahwa belanja kementerian masih biasa-biasa saja. Dia meminta kementerian dan lembaga segera keluarkan belanja anggaran secepatnya. Sehingga uang banyak beredar di masyarakat. Kemudian konsumsi masyarakat menjadi naik. Jokowi mencontohkan di bidang kesehatan yang sudah dianggarkan Rp75 triliun.
"Baru keluar 1,53 persen coba," katanya.
Menurut Jokowi dengan belanja yang kecil itu, menjadikan peluang uang beredar di masyarakat menjadi ter-rem. Menurut Jokowi dengan beredarnya uang anggaran kementerian di masyarakat, bisa menjadi trigger ekonomi. Untuk anggaran kesehatan itu, Jokowi meminta supaya pembayaran untuk tunjangan dokter, dokter spesialis, tenaga medis, segera dikeluarkan. Kemudian belanja peralatan kesehatan juga segera dikeluarkan.
Jokowi lantas menyinggung program bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat supaya segera dikeluarkan. Jika terjadi masalah atau hambatan, supaya segera dilakukan tindakan lapangan. Menurut dia program bansos sudah lumayan. Namun dia mengatakan program bansos harusnya sudah tersalur 100 persen. Kemudian untuk bidang bidang ekonomi, Jokowi meminta supaya program stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha mikro, kecil, menengah, atau besar. Dia mengatakan pelaku usaha mikro, kecil, dan lainnya sedang menunggu implementasi stimulus ekonomi.
"Jangan biarkan mati dulu, baru kita bantu. Tidak ada artinya," tutur Jokowi.
Dia meminta perusahaan, khususnya yang padat karya, diberikan prioritas. Sehingga tidak sampai terjadi PHK. Jokowi meminta jangan sampai sudah terjadi PHK besar-besaran, namun uang stimulus ekonomi satu rupiah pun belum ada yang masuk ke dunia usaha. Jokowi mengatakan jika kelambatan itu dipicu karena peraturan, dia siap mengeluarkan Perppu maupun Perpres. Dia mengatakan selama untuk nasib 267 juta penduduk Indonesia, dia siap dengan langkah politik maupun birokrasi. Termasuk mempertaruhkan reputasi politiknya.
"Saya harus omong apa adanya. Tidak ada progres yang signifikan," tutur dia.
Sekali lagi Jokowi meminta jajarannya untuk merasakan kondisi krisis saat ini. Langkah-langkah khusus harus dilakukan. Dia bahkan bisa saja membubarkan lembaga. Kemudian juga bisa melakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Jokowi mengatakan dirinya akan melakukan tindakan extra ordinary keras. Dia meminta betul jajarannya untuk mengerti dan memahami apa yang dia sampaikan. Kerja keras dalam situasi seperti ini baginya sangat diperlukan.
"Kecepatan diperlukan. Tindakan di luar standar saat ini sangat diperlukan dalam manajemen krisis," kata Jokowi di pengujung arahannya.
Dalam rapat itu seluruh menteri terlihat hadir. Termasuk juga Gubernur Bank Indonesia Perry Wariyo. Khusus soal adanya insentif untuk para tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19, sudah disampaikan secara langsung oleh Jokowi ke publik 23 Maret lalu. Waktu itu dia menyampaikan di sela peresmian RS Darurat Wisma Atlet. Untuk dokter spesialis Rp15 juta/bulan, dokter umum atau dokter gigi Rp10 juta/bulan, bidan atau perawat Rp7,5 juta/bulan, dan tenaga medis lainnya Rp5 juta/bulan.
Ternyata lebih dari tiga bulan berselang, insentif yang dijanjikan Jokowi itu tidak kunjung dicairkan. Kondisi ini diakui oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Ari Fahrial Syam.
"Iya ini memang masalahnya. Insentif yang dijanjikan belum turun," kata Ari.
Kalaupun ada insentif bagi para dokter, itu berasal dari uang rumah sakit sendiri. Kondisi ini ditambah lagi soal dukungan anggaran untuk laboratorium PCR. Nah sampai saat ini dukungan atau support dari Kemenkes dia nilai masih kurang. Dia menjelaskan sebagai dokter spesialis penyakit dalam, memang tidak terlibat langsung menangani pasien Covid-19. Di lapangan yang menangani pasien Covid-19 adalah dokter spesialis penyakit dalam, konsultan tropik infeksi, dan konsultan paru. Ari mengakui urusan insentif tersebut adalah masalah yang sensitif.
Ari juga menyinggung soal dukungan untuk laboratorium yang melaksanakan uji PCR. Dia menjelaskan sejumlah laboratorium mendapatkan SK Menkes untuk melaksanakan uji PCR. Menurut dia, laboratorium ini selain mendapatkan donasi bahan habis pakai dari sejumlah lembaga, juga perlu mendapatkan dukungan dari Kemenkes. Sebab Kemenkes adalah lembaga yang menunjuk sebagai laboratorium rujukan.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai sinyalamen reshuffle yang dilontarkan Presiden Jokowi tidak main-main. Itu tampak dari ekspresi kekecewaan dan kegeraman presiden atas kinerja pembantu-pembantunya. Salah satu yang menjadi sorotan presiden dalam rapat tertutup itu adalah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. "Ini seperti kode keras kepada menteri yang bersangkutan," kata Burhanuddin.
Yang juga menimbulkan pertanyaan karena rapat kabinet tersebut bersifat internal. Namun akhirnya di-upload secara terbuka oleh Sekretariat Presiden. Ada jeda waktu sekitar 10 hari sejak rapat internal itu dilakukan pada 18 Juni yang lalu.
"Ini bukan kebetulan tapi ada unsur kesengajaan. Seperti mengingatkan anggota kabinet bahwa ancaman reshuffle tidak main-main," paparnya.
Alasan lain, jelas dia, isu reshuffle bagian dari testing the water untuk melihat reaksi publik. Di sisi lain dia menilai pidato yang menunjukkan sinyal reshuffle kabinet ini relatif terlambat disuarakan Jokowi. Alasannya, indikasi kurang bekerjanya mesin kabinet dalam merespons wabah Covid-19 sudah terlihat sejak awal. Menkes Terawan Agus Putranto, contohnya.
Sebenarnya kinerja Terawan sudah terlihat kedodoran dan gagap dari awal. Beberapa bulan terakhir, Terawan juga terkesan menghilang dari amatan publik.
"Justru kenapa baru sekarang (reshuffle, red) diucapkan. Kan indikasi kinerja menkes dan beberapa kementerian yang lain sudah terlihat melempem sejak krisis ini menerpa," tegasnya.
Selain Menkes Terawan, publik juga banyak mencibir kinerja Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara. Mulai dari lambannya pencairan bansos hingga proses penyaluran yang tidak tepat sasaran. Namun Burhanuddin meragukan Juliari akan menjadi sasaran reshuffle. Sebab perombakan kabinet, jelas dia, tidak semata-mata karena faktor kinerja tapi juga faktor politik.
"Lebih kompleks urusannya jika terkait dengan menteri dari partai politik. Karena kan harus berdiskusi dulu dengan partai pengusung," beber pengajar UIN Syarief Hidayatullah Jakarta itu.(wan/mar/jpg)