JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Beredar penggalan percakapan yang diduga antara Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dengan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir di media sosial. Rekaman pembicaraan itu dinilai hasil penyadapan. Keamanan komunikasi pejabat setingkat menteri masih dipertanyakan.
Pendiri Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama D Persadha menuturkan, untuk mengetahui bahwa rekaman pembicaraan itu hasil sadapan atau tidak, ada tahapan yang harus dilalui. Dalam ilmu forensik audio, rekaman suara itu harus dibersihkan dari noise atau suara gangguan.
”Setelah bersih dari noise, maka akan dapat diketahui bahwa rekaman itu hasil penyadapan di dalam ruangan atau penyadapan telepon,” terangnya dihubungi.
Namun, bila dipelajari sepintas, kemungkinan besar rekaman pembicaraan tersebut merupakan penyadapan telepon. Namun, hal tersebut hanya merupakan dugaan. ”Untuk pastinya harus menempuh kajian laboratorium forensik,” paparnya.
Tidak hanya soal penyadapan, dalam laboratorium forensik ini juga bisa menentukan keaslian suara tersebut. Menurutnya, dengan kemajuan teknologi saat ini dapat dengan mudah membuat suara menyerupai seseorang. ”Jangankan suara, video saja bisa dipalsukan,” paparnya.
Banyak software seperti Gnumerik dan lainnya yang bisa mengetahui keaslian dari suara. Tentunya dengan membandingkan suara rekaman dengan suara yang diyakini miliki orang yang dituju. ”Nanti hasilnya bisa beberapa, seperti meragukan atau bukan suara orang yang dituju atau malah memang asli,” tuturnya.
Namun, dalam kasus ini menjadi mencuat soal sisi keamanan dari komunikasi seorang pejabat. Dia menuturkan, seharusnya menteri dan pejabat lainnya memiliki alat komunikasi yang terenkripsi. Sehingga, komunikasinya bisa aman dari penyadapan. ”Namun, bukan berarti penggunaan enkripsi ini menghindari penegak hukum terkait kasus korupsi,” jelasnya.
Dia menuturkan, penegak hukum tentunya harus memiliki alat yang jauh lebih canggih lagi dari pada para pengguna fasilitas keamanan komunikasi. ”Penegak hukum tidak boleh hanya alat biasa,” ujarnya.
Sementara Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan, pejabat sebenarnya telah disediakan aplikasi bernama Scrambler atau pengacak suara. ”Sehingga, tidak bisa disadap,” ujarnya.
Namun, apakah pejabat itu menggunakannya atau tidak, tentu tergantung orangnya. Memang aplikasi ini membuat handphone lebih lambat bekerja dan membutuhkan waktu. ”Tinggal pilih, mau aman, atau hanya mau nyaman,” paparnya.
Menurutnya, teknologi dan kewenangan untuk menyadap itu dimiliki penegak hukum, seperti Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). ”Namun, itu harus dengan perizinan yang jelas. Setidaknya izin dari atasan,” paparnya.(ken/idr/jpg)