JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Tingkat kepercayaan publik terhadap Polri yang berada di titik rendah membuat para mantan Kapolri merasa khawatir. Kamis (27/10) tujuh mantan Kapolri menemui Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Mereka memberikan masukan untuk menuntaskan rentetan masalah yang dihadapi Korps Bhayangkara tersebut.
Tujuh mantan Kapolri itu adalah Jenderal (pur) Da’i Bachtiar, Jenderal (pur) Sutanto, Jenderal (pur) Timur Pradopo, Jenderal (pur) Roesmanhadi, Jenderal (pur) Chairuddin Ismail, Jenderal (pur) Bambang Hendarso Danuri, dan Jenderal (pur) Badrodin Haiti.
Da’i Bachtiar menuturkan, para mantan Kapolri ini memberikan dorongan spirit kepada Kapolri. Diharapkan, Kapolri tabah dan berpikir rasional dalam menghadapi situasi terkini. "Perlu langkah konkret agar masyarakat merasakan apa yang dijalankan Polri," tuturnya.
Ada sejumlah masukan yang disampaikan. Salah satunya, pelayanan Polri dari tingkat terendah hingga teratas perlu dievaluasi. Bahkan, perlu ada re-evaluasi terhadap standard operating procedure (SOP). "SOP yang sudah ada perlu dikaji kembali, mengapa sampai masyarakat tidak puas," ujar Da’i.
Misalnya, penanganan laporan masyarakat. Lamanya laporan itu direspons Polri perlu diketahui. "Intinya, perbaikan SOP itu jangka pendeknya. Tentu ada jangka panjangnya," jelasnya.
Untuk jangka panjang, salah satunya adalah dukungan anggaran dan fasilitas operasional. Dia menegaskan, hal itu juga menentukan upaya pelayanan maksimal terhadap masyarakat. "Kalau tidak ada anggaran yang cukup, bagaimana?" tanya Da’i.
Dia mengakui, perbaikan kultur di internal kepolisian butuh waktu yang tidak pendek. Hal tersebut tidak hanya bergantung kepada kepolisian, tetapi juga lingkungannya. Yakni, masyarakat. "Jadi, butuh dukungan masyarakat," ungkapnya.
Setelah ketujuh mantan Kapolri bertemu dengan Kapolri, diharapkan pada akhir tahun kepercayaan publik terhadap Polri lebih baik. "Semoga begitu, ya. Polri sedang mengalami masalah yang cukup berat," tuturnya.
Salah satu yang menggerus kepercayaan publik terhadap kepolisian adalah kasus pembunuhan yang diduga dilakukan Ferdy Sambo. Kemarin, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menyelenggarakan sidang untuk kasus obstruction of justice yang merupakan rangkaian kasus Sambo.
Dua terdakwa dihadirkan dalam sidang tersebut. Yaitu, Brigjen Hendra Kurniawan dan Kombespol Agus Nurpatria. Terdapat tujuh saksi yang dihadirkan. Di antaranya, dua petugas satpam Kompleks Duren Tiga Abdul Zapar dan Marjuki. Lalu, empat anggota Polri, yakni Aditya Cahya, Tomser Kristianata, Munafri Bahtiar, dan Ari Cahya Nugraha. Serta seorang buruh harian lepas bernama Supriyadi.
Dalam sidang yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB itu, ada sejumlah kejadian yang menonjol. Khususnya terkait dengan upaya membuktikan terjadinya perusakan barang bukti berupa rekaman CCTV. Misalnya, saat AKBP Aditya Cahya menjadi saksi.
Dia menceritakan di depan majelis hakim bahwa dirinya mendatangi rumah dinas Sambo di Duren Tiga sejak hari kejadian Jumat (8/7). Aditya datang karena dipanggil Ferdy Sambo melalui sambungan telepon. "Saat itu saya melihat Pak Sambo. Wajahnya menunjukkan kemarahan. Dia sedang merokok di teras rumah," katanya.
Lantas, Sambo mengajaknya masuk dan melihat sudah ada seseorang yang tergeletak di dekat tangga. Yang kemudian disebutkan Sambo sebagai Brigadir Yosua. "Pak Sambo menyebut Yosua ini melakukan pelecehan ke Ibu Putri. Lalu, terjadi tembak-menembak dengan Richard," jelasnya.
Yang menarik, jaksa memperdalam keterangan Aditya terkait dengan CCTV di dalam rumah dinas yang mengarah ke tangga. CCTV tersebut potensial merekam kejadian di dalam rumah. "Saya sempat mendengar dari Pak Sambo bahwa CCTV di dalam rumah itu tidak berfungsi atau mati," ujarnya.
Dia mengaku tidak tahu alasan dipanggil Sambo ke rumah dinas tersebut. Setelah itu, sama sekali tidak ada perintah Sambo terhadapnya. "Hanya, saat Ahad, saya ditelepon Pak Hendra Kurniawan untuk meminta orang datang ke Duren Tiga. Tapi, saya sedang berada di Bali. Saya arahkan anggota AKP Irfan Widyanto untuk ke Duren Tiga," terangnya. Namun, Aditya mengaku tidak tahu perintah yang diberikan terhadap Irfan Widyanto. Menurut dia, belakangan barulah Irfan melaporkan diminta mengganti DVR CCTV di pos sekuriti Duren Tiga. "Saya merespons dengan waduh. Lalu, disebutkan Irfan bahwa DVR diberikan ke Pak Chuck dan diserahkan ke penyidik Polres Metro Jaksel," jelasnya.
Hakim lantas meminta pendapat dari terdakwa Brigjen Hendra Kurniawan mengenai ada tidaknya keberatan dalam keterangan saksi tersebut. Bukannya menjawab keberatan atau tidak, Hendra malah curhat bahwa dirinya tidak mengetahui siapa yang mengambil DVR dan mengopinya. Semua dilakukan hanya karena diperintahkan Sambo. "Itu prinsipnya," katanya.
Kejadian menarik lainnya saat anggota Polri Tomser Kristianata dan Munafri Bahtiar memberikan kesaksian. Mereka merupakan anak buah AKP Irfan Widyanto yang menemani saat diperintahkan Kombespol Agus Nurpatria untuk mengganti DVR CCTV.
Tomser dan Munafri memberikan kesaksian yang sama terkait dengan instruksi kepada AKP Irfan. Tomser saat itu melihat Agus merangkul Irfan dan menunjukkan posisi CCTV. CCTV itu berada di dekat lapangan basket yang mengarah ke rumah dinas Sambo. "Lalu, saya mendengar Pak Agus memerintah Irfan untuk mengambil dan mengganti DVR," terangnya.
Setelah kesaksian keduanya, hakim bertanya kepada terdakwa apakah keberatan dengan keterangan para saksi tersebut. Saat itu terdakwa Kombespol Agus Nurpatria mengaku tidak memerintahkan pengambilan dan penggantian DVR CCTV.
"Tapi, saya minta dicek dan diamankan," ujarnya kepada majelis hakim.(idr/c14/oni/jpg)