TIDAK MUTLAK HARUS MILIKI AKSES INTERNET

Salah Paham Pendidikan Jarak Jauh

Nasional | Minggu, 26 Juli 2020 - 10:50 WIB

Salah Paham Pendidikan Jarak Jauh
Seorang siswa MTs 3 Pekanbaru Abil belajar jarak jauh dengan guru lewat aplikasi Zoom di rumahnya, baru-baru ini. Said Mufti/Riau Pos

(RIAUPOS.CO) - Sejak pandemi Covid-19 menyerang, praktis pembelajaran di kelas diganti dengan pendidikan jarak jauh (PJJ). Siswa belajar dari rumah masing-masing. Ironinya meskipun sudah berjalan sejak Maret lalu, pelaksanaan PJJ bermasalah. Mulai dari siswa bosan, kualitas menurun, dan hambatan akses serta biaya internet.

Di antara lembaga pendidikan yang sudah lama menjalankan PJJ adalah Universitas Terbuka (UT). Rektor UT Ojat Darojat mengatakan saat ini terjadi kesalahpahaman terhadap pelaksanaan PJJ. Ketika pembelajaran sudah dilakukan dengan Zoom, Google Meet, dan aplikasi telekonferensi sejenis, dianggap sudah menjalankan PJJ.


’’Padahal belum. Zoom dan sejenisnya itu hanya salah satu learning delivery saja,’’ katanya usai membuka Temu Ilmiah nasional Guru (TING) XII di kampus UT, Tangerang Selatan, Banten kemarin (25/7). Ojat mengatakan interaksi virtual dengan Zoom dan sejenisnya itu bersifat sinkronus. Padahal di dalam proses PJJ yang lebih penting adalah pembelajaran yang berifat asinkronus.

Pembelajaran asinkronus itu tidak terikat waktu. Siswa bisa belajar secara mandiri sesuai dengan ketersediaan waktunya. Tidak seperti interaksi sinkronus melalui Zoom yang ditentukan jamnya. ’’Misalnya ditentukan pukul 10.00 WIB sampai 11.00 WIB. Ini kan tidak luwes lagi,’’ tuturnya.

Ojat mengatakan UT sejak lama sudah mengembangkan materi belajar secara asinkronus. Sehingga mahasiswa mereka bisa mempelajarinya sesuai dengan kelonggaran waktu masing-masing. Konten belajar asinkronus itu beragam isinya. Di antaranya adalah berbasis video.

Kemudian Ojat mengatakan PJJ tidak mutlak harus memiliki akses internet. Dia mengatakan akses internet hanya diperlukan saat pelaksanaan learning delivery yang menggunakan pertemuan virtual itu. Tetapi sejatinya dalam pelaksanaan PJJ, banyak strategi yang bisa dilakukan sehingga tidak harus terpaku pada ketersediaan jaringan internet.

Pria yang dikukuhkan sebagai guru besar pada 2016 itu mencontohkan buku untuk mendukung proses PJJ juga berbeda dengan buku pelajaran tatap muka. Dia mengatakan para siswa saat ini menjalani PJJ tetapi buku yang dipakai adalah buku untuk tatap muka. Sehingga tidak nyambung.

Dia menegaskan untuk menjalankan PJJ itu ada bukunya sendiri. Meskipun materinya sama, tetapi isi bukunya berbeda. ’’Buku untuk PJJ itu kami menyebutnya self content,’’ katanya. Maksudnya adalah ketika siswa membaca buku tersebut, seluruh informasi atau penjelasannya sudah tersedia. Berbeda dengan buku untuk pembelajaran tatap muka, yang membutuhkan penjelasan dari guru.

Dengan adanya buku yang khusus untuk PJJ itu, siswa bisa memahami materi pokok pelajaran secara mandiri. Ketika penjelasan teks saja kurang memenuhi, maka dilengkapi gambar. Termasuk juga dilengkapi contoh soalnya. Bahkan sampai dilengkapi dengan video atau rekaman suara. Pada prinsipnya buku untuk PJJ itu membuat siswa bisa memahami materi tanpa harus dipandu oleh guru.

Dia juga menyoroti skema PJJ yang mengunggah isi buku pelajaran dalam format PDF. Kemudian diunduh oleh siswa untuk dipelajari di rumah. Dia menegaskan konsep itu belum bisa disebut PJJ. Sebab buku yang diunggah di internet itu adalah buku untuk pembelajaran tatap muka.

Ojat mengatakan UT terbuka bagi kalangan pendidikan untuk belajar menjalankan PJJ. Termasuk juga untuk kalangan perguruan tinggi. Seperti diketahui di tengah pandemi seperti saat ini, tidak hanya murid di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang belajar dari rumah. Kakak mereka di perguruan tinggi juga kuliah dari rumah masing-masing.

Dalam kesempatan berbeda, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyampaikan, bahwa masih banyak anak mengalami kesulitan dalam PJJ. Salah satunya, terkait akses internet.

Dari aduan yang diterimanya, banyak orang tua yang mengeluhkan soal kemampuan membeli kuota internet dan gadget untuk anak-anaknya belajar dari rumah. Melihat kondisi ini, ia pun merekomendasikan agar pemerintah bisa menggratiskan internet selama satu semester untuk menunjang pembelajaran anak selama pandemi. ”KPAI merekomendasi selama fase kedua PJJ, enam bulan ke depan,” ujarnya.

Dirinya pun mendesak agar evaluasi dari Kemendikbud terkait PJJ di fase pertama segera diumumkan. Karena, hasil tersebut dapat jadi bahan perbaikan di fase kedua yang sudah berjalan seminggu ini.

Selain itu, dia menekankan agar PJJ dapat dibuat semenarik mungkin yang bisa membuat peserta didik bahagia. Mengingat pada fase pertama, PJJ banyak membuat anak stress karena diisi dengan pemberian tugas. Bahkan tak jarang tugas yang diberikan terlalu banyak. ”Siswa merasa tidak senang belajar di rumah, karena gurunya tidak melakukan interaksi. Hanya tugas saja,” paparnya.

Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Jumeri membenarkan bahwa masih ada sejumlah hambatan yang sama di PJJ pada tahun ajaran baru ini. Misalnya, masih ada anak kesulitan karena tak punya perangkat. Lalu, akses internet terbatas.

Tidak hanya anak, tapi guru pun sama. Masih ada sejumlah guru yang mengalami hambatan soal akses dan kesulitan terhadap pembelajaran daring. Meski, pengetahuannya mengenai pola pembelajaran sudah meningkat dibanding sebelumnya. ”Sejuah ini relative sama dengan apa yang ditemukan masyarakat,” paparnya.

Pihaknya sendiri sudah melakuan evaluasi sejak tahun ajaran baru dimulai. Ada kajian-kajian yang dilakukan sedari minggu awal. Namun diakuinya, belum dapat dirilis. Karena, sitemnya kajian dilakukan minimal dua minggu. Sehingga diperkirakan sekitar awal Agustus bakal diumumkan.

”Nanti ada pengumuman dari kementerian terkait apa yang harus dilakukan pada masa pandemi,” ungkap Mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah tersebut. termasuk, mengenai sejumlah scenario untuk mengantisipasi kebosanan dan kejenuhan siswa. Tak terkecuali permasalahan akses.

Jumeri pun tak menampik bahwa PJJ ini belum mencapai hasil maksimal. Tapi, perlu diingat juga bahwa kondisi saat ini memang tidak mudah. Sudah banyak orang tua yang meminta sekolah untuk kembali dibuka. Alasannya, anak-anak memang tak berangkat ke sekolah namun tetap bermain bebas di luar. Terkait hal ini, ia menegaskan bahwa sudah ada SKB 4 menteri yang jadi pedoman untuk saat ini. Dia meminta agar hal tersebut dipatuhi dan diikuti terlebih dahulu.

Sebab, lanjut dia, buka sekolah ini pun bukan perkara mudah. Mengingat, di sejumlah berasrama yang telah dibuka justru menyebabkan adanya klaster baru. ”Ini yang gak mudah. Tapi mohon sabar dulu, mudah-mudahan akhir pekan depan kita keluarkan hasil evaluasinya,” paparnya.

Mengenai internet murah, pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah ini memiliki pandangan untuk membuat sebuah gerakan internet gratis. Di mana, memungkinkan anak untuk memiliki akun khusus mengakses internet gratis pada jam-jam tertentu. ”Pada jam sekolah misalnya. Dia bisa mengakses di pukul 08.00-12.00 secara gratis. Tapi melalui akun khusus, jadi tidak digunakan orang lain,” ujarnya.

Pihaknya akan berkoordinasi dengan perusahaan telekomunikasi mengenai hal tersebut. mengingat, pada masa ini, provider jelas lebih banyak diuntungkan ketika semua dilakukan secara daring.(wan/mia/das)


Laporan JPG, Jakarta
 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook