Tetap saja mengharukan. Biar pun salat Idul Fitri-nya di rumah sendiri. Kemarin.
Kebetulan ada halaman kecil di depan studio gamelan. Di samping rumah saya. Halaman itu berpasir. Pasir yang sudah dicuci --agar tidak berdebu.
Di situlah kami salat hari raya.
Dua anak, dua menantu, dan enam cucu menjadi jamaahnya. Rumah mereka hanya sepelemparan batu jauhnya.
Ditambah pula Kang Sahidin --sopir keluarga yang tidak bisa pulang kampung ke Sukabumi. Juga Pak Man --tukang kebun yang sudah puluhan tahun membujang - -sejak istrinya meninggal. Masih ditambah asisten rumah tangga anak saya dan staf keuangan di perusahaannya. Total 16 orang.
Di rerimbunan pohon mangga, nangka, asam Jawa, dan kaliandra itu kami menggelar tikar. Pula, diletakkan di situ satu kursi. Di sebelah sajadah imam. Itulah kursi untuk yang akan khutbah nanti --saya.
Istri saya lantas menghias kursi itu dengan kain yang dibeli di Turki. Lalu membungkus tongkat dengan bambu. Tongkat itu akan dipegang khatib saat berkhutbah nanti --seperti tradisi lama di desa saya dulu.
Saya ingat masa lalu. Nun jauh ke belakang. Yakni saat saya kelas 3 Aliyah (SMA). Saya diminta khutbah Idul Fitri di masjid desa saya. Itulah pertama kali saya khutbah Idul Fitri. Pun tahun-tahun berikutnya.
Lalu... tidak pernah khutbah lagi. Selama 40 tahun lebih. Mungkin juga tidak akan pernah khutbah lagi --kalau tidak ada Covid-19.
Dunia bisnis telah membuat saya tidak dikenal di dunia dakwah. Saya sudah dianggap "binatang ekonomi". Sudah disamakan dengan suku Tionghoa atau Yahudi.
Ternyata, di masa tua, masih harus khutbah lagi.
Tidak mudah berkhutbah di depan hanya 16 orang. Apalagi umur mereka bervariasi --8 tahun sampai 67 tahun. Tema khotbah bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Saya putuskan hanya bercerita saja. Yakni cerita bahwa berkat Covid ini saya bisa salat tarawih tiap malam dengan tertibnya. Juga cerita tentang bagaimana di sepertiga akhir bulan puasa. Yang tarawihnya kami khususkan. Di setiap rakaat terakhir, gerakan rukuk (membungkuk) kami buat lama sekali. Untuk sepenuhnya berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Seperti gerakan penyerahan leher kepada pemilik hidup --terserah, mau dipancung sekali pun.
Gerakan sujud rakaat terakhir itu juga sangat lama. Di sujud pertama --setelah bacaan sujud-- kami panjatkan doa untuk kesehatan kami. Saya sebut satu persatu nama-nama anggota keluarga saya. Saya mintakan sehat juga: semua karyawan di grup perusahaan saya. Baik yang di Kaltim, Lombok, Sumbawa, Surabaya, Jabar, Jateng, Sumatera, dan di Papua.
Di sujud kedua, saya doakan mereka agar diberi kehidupan yang baik. Perusahaan-perusahaan itu. Juga perusahaan anak-anak saya. Termasuk Persebaya, DBL, Wednesday, dan real estate-nya.
Saya ingat ketika menjadi jamaah salat tarawih di lingkungan Hidayatullah. Yang sujudnya juga lama dan sangat lama. Bisa untuk membaca istighfar 45 kali.
Jamaah yang hadir di halaman kemarin tampak sepenuhnya memperhatikan khutbah. Itu karena isi khutbah menyangkut "what it mean to me".
Banyak kholutbah yang isinya "what it mean to us". Unsur "me"-nya sangat langka. Karena itu khutbah menjadi kurang menarik. Banyak jamaah salat hari raya yang tidak mau mendengarkan khutbah. Mereka langsung bubar begitu salat selesai.
Merumuskan tema kholutbah memang tidak mudah. Itu karena pengkhutbah tidak mau tahu siapa pendengar kholutbahnya. Juga tidak melakukan penelitian atas jamaah yang hadir hari itu. Tidak mencari tahu apa saja problem mereka. Apa yang mereka inginkan. Pengkhutbah umumnya tidak peduli --pokoknya khutbah.
Ternyata khutbah di lingkungan kecil lebih menarik. Bisa lebih konkret. Hanya saja sering tidak memuaskan --bagi yang bangga kalau khutbahnya didengarkan ribuan umat.
Sampai saya selesai menceritakan soal tarawih itu khutbah baru berlangsung tiga menit. Maka saya tambah dua menit lagi --untuk membacakan puisi: yang saya tulis malam sebelumnya.
Inilah puisi itu:
Bumi gonjang-gonjang
Bertumbang gelimpangan
Aneh langit tersenyum jenaka
Melihat bumi membersihkan dosa
Dengan cleaning service bergaji rendah
Dengan sapu tergerak malas
Langit tiba-tiba murka dalam diam
Petir menyambar-nyambar dengan kelu
Badai badai badai dalam bisu
Bumi menyisakan dosa
Sebintang kali sejuta
Virus mencep kelelahan
Corona geleng kepala
Langit tersenyum kecut
Cleaning service terkulai
Sapu terberai
Bumi gonjang-ganjing
Menatap langit dengan iba
Walillahi alham
Genaplah khutbah itu lima menit. Doa di khutbah keduanya pendek saja.
Kami pun mengakhiri acara hari itu dengan sungkeman. Mula-mula para istri sungkem ke suami mereka. Untuk minta maaf. Lalu cucu-cucu ke kakek-nenek dan ke orang tua mereka.
Lalu gantian.
Para suami sungkem ke para istri. Jelas: para suami pun banyak juga berdosa kepada istri.
Lahir batin.
Skornya menjadi 0-0.
Selesai.
Ups... belum. Anak, menantu dan cucu saya berhambur ke asisten rumah tangga. Merangkul mereka. Lama. Minta maaf ke asisten itu. Terdengar isak sedu.
Selesai. Mata pun pada diusap.
Akhirnya ”soto banjar time”.
Made in istri.
Dengan ketupat made in suami.
Nyaman banar. ***