JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Keputusan pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat dari dan ke Jawa bali melakukan tes PCR 2×24 jam sebelum keberangkatan berpolemik. Banyak pihak yang keberatan karena alasan biaya, tapi tak jarang juga yang mendukung dengan alasan keamanan.
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti akan memberatkan. Hal ini kemudian bisa memunculkan kembali keengganan konsumen menggunakan transportasi udara.
”Dampaknya juga akan dirasakan dunia penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk,” ujarnya kemarin.
Di sisi lain, kata dia, kebijakan ini kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya moda transportasi udara yang diwajibkan. Sedangkan, moda transportasi lain masih diperkenankan menggunakan tes Rapid Antigen. Bahkan ada juga yang
Selain itu, menurutnya, perubahan level PPKM menjadi level 2 bahkan 1, harusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha. Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, maka syarat penerbangan harusnya cukup dengan antigen yang lebih tejangkau.
Karenanya, ia mendesak agar kebijakan ini dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosis medis. Bukan screening perjalanan. ”Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat,” tuturnya.
Namun, bila pemerintah masih kekeuh menjadikan tes PCR kewajiban penumpang pesawat, maka pemerintah perlu menekan seminimal mungkin biaya tes. Dengan demikian konsumen bisa menebus tarif tes PCR dg harga terjangkau. ”Jangan sampai menimbulkan praduga di masyarakat bahwa kebijakan ini kental aura bisnisnya,” sambungnya.
Kesulitan mendapat tes PCR ini diamini oleh Salman Toyibi, 27, calon penumpang Batik Air rute Tarakan-Jakarta. Dirinya sempat frustasi lantaran tak bisa menemukan lokasi layanan PCR 24 jam di Tarakan, Kalimantan Utara. Padahal, tiket pulang ke Jakarta sudah ditangan.
Dia telah menghubungi sejumlah rumah sakit penyedia layanan PCR di sana. Sayangnya, tak ada yang bisa memberi hasil PCR cepat. Bahkan, salah satu rumah sakit menyatakan harus mengirim sample ke Jakarta terlebih dahulu. Sehingga membutuhkan waktu beberapa hari hingga hasil bisa diperoleh. Itu pun, pengambilan sample tidak bisa dilakukan di Sabtu-Minggu. Hanya di hari kerja dan jam tertentu. Sementara, dirinya harus terbang pada Senin (25/10).
”Ini sih bisa pergi, gak bisa pulang,” keluhnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman