JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Tindak kekerasan oleh aparat kepolisian turut menjadi sorotan masyarakat sipil. Berdasar catatan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sepanjang Juni 2020 sampai Mei 2021 terjadi 651 kasus kekerasan yang melibatkan polisi. Selain menjadi pekerjaan rumah bagi Polri, kondisi itu juga menjadi catatan di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Wakil Koordinator I KontraS Arif Nur Fikri mengungkapkan bahwa ratusan tindak kekerasan itu dilakukan kepada masyarakat sipil. Dari ratusan kasus tersebut, penembakan menjadi jenis kekerasan yang paling banyak terjadi. "Menewaskan 13 orang dan 98 luka-luka," beber dia.
Menurut Arif, banyaknya tindak kekerasan oleh aparat kepolisian dengan jumlah korban cukup tinggi terjadi akibat penggunaan kekuatan yang berlebihan dan kesewenang-wenangan. Padahal Polri sudah memiliki Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, Polri juga punya Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
"Telah jelas disampaikan bahwa Polri tidak dapat dengan semena-mena menggunakan senjata ataupun melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian seseorang," bebernya.
Belakangan tindak kekerasan oleh aparat kepolisian banyak mendapat perhatian masyarakat. Berbagai kasus pun bermunculan ke muka publik. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sampai mengeluarkan telegram untuk membenahi persoalan tersebut. Namun demikian, sambung Arif, evaluasi juga harus dilakukan agar masalah serupa tidak terulang.
"Sayangnya, evaluasi dan penegakkan hukum atas tindakan maupun pelanggaran tersebut masih sangat minim," jelas Arif.
Kondisi itu, lanjut dia, menjadikan reformasi sektor keamanan, khususnya di kepolisian masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menambahkan, pihaknya juga mencatat aparat kepolisian beberapa kali terjadi terhadap peserta aksi demonstrasi. "Kekerasan terhadap peserta aksi mencuat sejak demonstrasi PP 78 nomor 2015 tentang Pengupahan, May Day 2019, Reformasi Dikorupsi 2019, penolakan Omnibus Law Cipta Kerja dan aksi-aksi serupa pada tahun 2021," bebernya.
Dari informasi dan data yang masuk ke YLBHI, Isnur mengungkapkan bahwa secara umum tindakan kekerasan itu terjadi ketika aparat kepolisian menangkap demonstran. Di samping demonstran, YLBHI juga menerima laporan tindak kekerasan terjadi terhadap masyarakat yang sudah berstatus tersangka. "Pada tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat adanya 38 kasus penyiksaan dengan jumlah korban 474 orang," bebernya.
Dengan catatan tindak kekerasan tersebut, pihaknya berharap ada perubahan besar di kepolisian. Apalagi belakangan ini Polri sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dikeluarkan untuk membenahi diri.(syn/jpg)