JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Satuan Tugas Hak Tagih Negara Atas Hutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) terus melakukan pengejaran pada seluruh obligor/debitur. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa Satgas BLBI bekerja dengan baik. Strategi dan langkah terukur yang mereka lakukan dia nilai sudah cermat dan tepat.
"Mereka yang dipanggil (oleh Satgas BLBI) hampir semua merespons," ungkap dia kepada awak media di Jakarta.
Walau tidak semua langsung membayar utang, menurut Mahfud respons tersebut menunjukkan sinyal positif. Ada obligor atau debitur yang datang untuk mengajukan keberatan. Mereka merasa utang kepada pemerintah tidak sebesar yang ditagihkan. Kepada mereka, Mahfud mengungkapkan, Satgas BLBI tetap membuka diri. ”Datang saja datang. Klarifikasi kepada kami. Seperti apa dokumennya,” ucap Mahfud.
Eks ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu memastikan, Satgas BLBI punya data dan dokumen lengkap. Bila ada yang obligor atau debitor yang malah lari dan enggan datang ketika dipanggil, dia pastikan pihaknya akan mengejar sampai yang bersangkutan menuntaskan tanggung jawab membayar utang kepada negara.
”Pokoknya datang saja. Karena kalau nggak datang juga, kami punya dokumen. Akan dikejar karena kan (bisa) ditempuh jalur hukum,” tegasnya.
Terhadap obligor dan debitur yang merasa belum dipanggil, Mahfud memastikan pada gilirannya mereka akan diminta untuk datang menemui Satgas BLBI. Sebab, tim yang dia bentuk sudah menyusun rencana penyelesaian tugas sampai 2023 mendatang.
”Kami bertahap, tiga bulan pertama apa kerja kami. Tiga bulan berikutnya apa. Sampai nanti kami akan melaporkan hasilnya kepada presiden,” terang dia.
Sejauh ini, Mahfud menerima laporan, Satgas BLBI sudah berhasil mengidentifikasi aset berupa tanah dan bangunan seluas 15,2 juta hektare. Dari angka tersebut, sebagian sudah kembali ke tangan pemerintah. Totalnya ada 5,2 juta hektare tanah dan bangunan di empat kota.
”Dan nanti akan segera masuk proses sertifikasi atas nama negara,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia juga sudah mendapat kabar bahwa aset berbentuk uang, rekening, dan sebagainya ada yang sudah proses pengembalian. Dua hari lalu, Mahfud menyatakan, salah seorang obligor mencairkan uang sebesar Rp100 miliar untuk dikembalikan kepada negara.
”Kami kuasai dari sebuah bank, dari salah seorang obligor,” tegas Mahfud.
Tidak hanya itu, dia menyebutkan, putusan pengadilan berkaitan dengan aset negara dari BLBI juga akan segera dieksekusi oleh Kejaksaan Agung. ”Kami sudah minta jamdatun atas kuasa dari menkeu untuk melakukan eksekusi,” tambahnya.
Meski tidak menyebutkan angka aset yang akan dieksekusi itu, Mahfud memastikan jumlahnya tidak sedikit. Dia kembali menegaskan, eksekusi atas putusan-putusan pengadilan itu mestinya jadi perhatian obligor atau debitur yang masih berusaha mengelak.
”Saya katakan, ngelak-ngelak juga ndak bisa. Kami kejar,” imbuhnya.
Bukan hanya yang ada di dalam negeri, obligor maupun debitur yang berada di luar negeri juga pasti dikejar. Bahkan, mereka yang sudah meninggal dunia tidak luput. Khusus obligor dan debitur yang sudah tiada, Satgas BLBI akan meminta pertanggungjawaban dari ahli waris. Mahfud menyampaikan, negara sudah berlaku baik kepada para obligor dan debitur. Mereka tidak diminta membayar seluruh hutang.
”Ada yang punya utang Rp58 triliun hanya menjadi 17 persen dari itu. Ada yang menjadi 30 persen (dari total utang),” jelas dia.
”Sudah begitu masa masih mau ngemplang,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan, Satgas BLBI telah memanggil 24 obligor/debitur pengemplang dana bailout 1997-1999 silam. Sebanyak 24 obligor itu merupakan separuh dari total 48 obligor/debitur yang tercatat. Ani (sapaan akrab menkeu) menyebut, ada obligor yang memenuhi panggilan Satgas BLBI, tetapi ada juga yang mengaku tidak memiliki utang pada negara.
"Ada yang hadir, tapi mereka mengatakan tidak punya utang kepada negara," jelasnya.
Secara umum, Satgas BLBI mengelompokkan mereka ke dalam lima kelompok. Pertama, mereka yang hadir dalam pemanggilan dan mengakui bahwa memiliki utang atau kewajiban kepada negara dan menyusun rencana penyelesaian utang. Kedua, mereka yang hadir dalam pemanggilan atau diwakilkan dan mengakui memiliki utang dan menyusun rencana penyelesaian utang. Namun, proposal ditolak Satgas BLBI karena dianggap tidak realistis.
"Ketiga, ada yang hadir. Namun, waktu hadir mereka mengatakan mereka tidak punya utang sama negara," imbuhnya.
Keempat, mereka tidak hadir dalam pemanggilan namun menyampaikan surat janji untuk penyelesaian utang. Kelima, mereka yang bahkan tidak hadir dalam pemanggilan dan tidak mengirimkan surat. Ani menjelaskan, Satgas BLBI juga melarang obligor/debitur itu berpergian ke luar negeri. Hal itu juga sudah dilakukan kepada salah satu obligor. Langkah itu ditempuh karena pembayaran utang obligor itu terbilang sangat kecil dibanding jumlah utangnya.
Dia menekankan, langkah serupa juga tak menutup kemungkinan akan dilakukan kepada obligor lainnya. Terutama jika mereka juga membayar utang jauh dibanding kewajibannya. Selain itu, Satgas BLBI juga telah mengeksekusi barang jaminan, baik aset tetap ataupun bergerak dari obligor. Aset itu akan dihitung jumlahnya hingga nantinya sesuai dengan utang yang dimiliki obligor.
Ani menyebut, hal itu sudah dilakukan kepada salah satu obligor yakni Kaharudin Ongko. Tindakan tersebut setelah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mengeluarkan surat paksa terhadap obligor tersebut, karena selama berutang kepada negara tingkat pengembaliannya sangat kecil.
Alhasil, aset Kaharudin resmi disita oleh pemerintah sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani pada 18 Desember 1998. Seluruh aset yang disita itu juga sudah resmi masuk kas negara sejak Senin (20/9) lalu.
"Tanggal 20 September kemarin kita lakukan penyitaan dan sekaligus mencairkan harta kekayaan yang bersangkutan dalam bentuk escrow account di salah satu bank swasta nasional. Jumlah escrow account sebesar Rp664.974,593 dan escrow account bentuk 7.637,605 dolar AS, kalau dikonversikan ke kurs jadi Rp109,508 miliar," katanya.
Kaharudin merupakan eks pemegang saham tertinggi Bank Umum Nasional (BUN). BUN didirikan oleh beberapa tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta pada 2 September 1952. Total tagihan yang harus dibayarkan olehnya mencapai Rp8,2 triliun. Tagihan itu meliputi, Rp7,8 triliun dari PKPS BUN dan Rp359,4 miliar dari PKPS Bank Arya Panduarta.
Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban menambahkan, pihaknya akan terus mengejar orang-orang yang telah diwarisi utang kepada negara tersebut hingga ke luar negeri. Apabila yang bersangkutan sudah meninggal, maka pemanggilan akan dilakukan kepada para ahli warisnya. Seperti diketahui, memang ada obligor BLBI yang kini tercatat telah meninggal dunia, seperti Aldo Brasali dari Bank Orient.
"Untuk yang sudah meninggal, Panitia Urusan Piutang Negara bisa mengejar ahli warisnya. Kemudian, kita akan terus, kalau perlu menggugat di tempat-tempat tidak harus di Indonesia. Itu akan kita lakukan," jelasnya.(syn/dee/jpg)