JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Desakan penundaan Pilkada Serentak 2020 akibat pandemi dipastikan kandas. Pemerintah, DPR, KPU, dan Bawaslu telah menyepakati tahapan dilanjutkan dan pemungutan suara tetap digelar 9 Desember 2020 dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPR RI, malam tadi.
Keputusan tersebut sesuai dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kekeuh pilkada tetap dilangsungkan di masa pandemi. Sikap Presiden sendiri disampaikan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman dalam keterangannya, Senin (21/9). Dia menjelaskan, pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakkan hukum dan sanksi tegas. Agar tidak muncul klaster baru. "Penyelenggaraan pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020," terangnya.
Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi bukan hal mustahil. Sejumlah negara seperti Singapura, Jerman, Prancis, dan Korea Selatan juga menggelar Pemilihan Umum di masa pandemi. Tentu dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Saat ini, tidak ada negara yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Termasuk Indonesia. "Presiden Joko Widodo menegaskan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir," lanjutnya.
KPU, tutur Fadjroel, sudah menerbitkan PKPU Nomor: 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada dalam kondisi bencana Covid-19. "Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. Artinya, aturan untuk semua daerah penyelenggara pilkada disamakan," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, pernyataan Presiden soal pilkada tetap lanjut tidak tepat. "Bukan kewenangan Presiden untuk menunda atau melanjutkan (pilkada). Itu wewenangnya KPU," ujarnya kepada Jawa Pos (JPG) kemarin.
Menurut UU, pilkada hanya bisa ditunda bila KPU -setelah mendapat pertimbangan dari Bawaslu- memutuskan menunda. Mengenai desakan banyak pihak untuk menunda pilkada, Ray justru bertanya balik. Apakah pihak-pihak yang meminta pilkada ditunda itu sudah punya solusi kapan pilkada akan dilaksanakan. "Jangan menganggap pilkada itu persoalan seperti orang makan ke restoran atau tidak," lanjut Ray.
Pilkada, sambung Ray, adalah amanat konstitusi yang wajib dilaksanakan. Bisa ditunda bila ada alasan urgen. Salah satunya karena pandemi. Namun, kerangka penundaan harus benar-benar lengkap. Khususnya dari sisi ketatanegaraan. Bila pilkada diundur ke 2021, tidak mungkin juga dilaksanakan di awal tahun. Pasti paling cepat pertengahan tahun. Dampaknya, kepala daerah terpilih baru bisa dilantik awal 2022. Sementara, pada 2024 Indonesia masih berencana menggelar pemilu serentak yang berbarengan dengan pilkada. Tidak mungkin juga kepala daerah hasil pilkada 2021 hanya menjabat selama dua tahun. Jumlahnya tidak sedikit.
Penundaan juga membuat banyak daerah yang mengalami kekosongan kekuasaan karena masa jabatan kepala daerah habis. Itu akan sangat merugikan daerah, terutama dalam upaya penanganan Covid-19. Mitigasi Covid-19 memerlukan keputusan politik, dan itu hanya bisa diambil oleh kepala daerah definitif. Plt kepala daerah wewenangnya amat terbatas. Menurut Ray, pilkada sebenarnya bisa dilanjutkan dengan berbagai cara. Dimulai dari merevisi PKPU yang terkait dengan Covid-19. Yang utama adalah mengurangi semaksimal mungkin pengumpulan massa di salam tahapan. "Termasuk di dalamnya adalah tidak memperkenankan kampanye terbuka,’’ ujar pria kelahiran Mandailing Natal, Sumatera Utara itu.
Alasan KPU bahwa metode kampanye sudah diatur UU menurut Ray tidak tepat. "Mereka (KPU) lupa, bahwa di Perppu diberi kewenangan kepada mereka untuk mengatur sebaik mungkin pelaksanaan pilkada, sesuai dengan situasi dan kondisi Covid," ucapnya.
Pilkada bisa dilanjutkan kalau KPU mau memaksimalkan wewenang yang diberikan Perppu, yang kini menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 itu. Selama ini wewenang tersebut tidak digunakan dengan baik oleh KPU. Akibatnya, muncul banyak celah yang memungkinkan pelanggaran protokol kesehatan. Kemudian, pada masa pandemi, rekapitulasi pilkada tidak perlu dilakukan secara berjenjang. "Langsung saja dari TPS ke KPU," imbuhnya. Bisa saja menggunakan rekapitulasi secara elektronik, bisa juga metode lain. Yang penting jenjang rekapitulasi di desa/kelurahan dan kecamatan dihilangkan.
Untuk mendisiplinkan para kandidat, KPU juga harus memperbarui regulasi menjadi lebih ketat. Bila perlu, ada sanksi diskualifikasi bagi kandidat yang perbuatannya berakibat pelanggaran protokol kesehatan. Dengan cara tersebut, pilkada akan tetap bisa dilaksanakan di tengah pandemi.(byu/far/jpg)