Jokowi Cabut Status Pandemi Covid-19

Nasional | Kamis, 22 Juni 2023 - 11:30 WIB

Jokowi Cabut Status Pandemi Covid-19
Jokowi (ISTIMEWA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Presiden Jokowi mengumumkan bahwa pemerintah secara resmi mencabut status pandemi Covid-19 di Indonesia, kemarin.

Selanjutnya, mulai kemarin Indonesia dinyatakan telah beralih dari masa pandemi menjadi endemi.


“Setelah tiga tahun lebihkita berjuang bersama menghadapi Pandemi Covid-19, sejak hari ini, Rabu, 21 Juni 2023, pemerintah memutuskan untuk mencabut status pandemi dan kita mulai memasuki masa endemi,” ujarnya.

Menurut Presiden keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan angka konfirmasi harian kasus Covid-19 di Indonesia mendekati nihil. Lebih lanjut, Kepala Negara menjelaskan hasil sero survei yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 99 persen masyarakat Indonesia sudah memiliki antibodi Covid-19. “WHO juga telah mencabut status public health emergency of international concern,” lanjutnya.

Meski demikian, Mantan Gubernur DKI Jakarta mengimbau masyarakat untuk tetap berhati-hati dan terus menjalankan perilaku hidup sehat dan bersih. Jokowi turut berharap keputusan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi nasional.

Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes Tjandra Yoga Aditama ikut merespon keputusan pemerintah soal endemi Covid-19. Dia mengatakan keputusan tersebut wajar diambil pemerintah Indonesia. Diantara pertimbangannya, kasus dan angka kematian akibat Covid-19 sudah sangat rendah dan terus menurun dari waktu ke waktu.

Di sisi lain dia mengatakan istilah pencabutan pandemi tidak terlalu tepat. Karena selama ini pemerintah Indonesia sama sekali tidak pernah menetapkan status pandemi. Status pandemi itu diputuskan WHO.  “Jadi tentu baiknya istilahnya kini tidak perlu disebut pandemi dicabut. Bisa disebut sudah endemi, bisa juga disebut bahwa kedaruratan kesehatan masyarakat sudah teratasi,” jelasnya.

Tjandra juga menyampaikan perlu ditekankan ke masyarakat, bahwa endemi bukan berarti penyakit sudah tidak ada. Endemi justru menunjukkan bahwa penyakit masih ada. Meskipun sudah tidak setinggi puncaknya di 2020 dan 2021 lalu.

“Tegasnya virus SARS CoV2 penyebab Covid-19 masih ada,” katanya. Kemudian pasiennya juga masih akan tetap ada. Termasuk pasien yang sampai dirawat di RS juga akan tetap ada. Bahkan pada kondisi tertentu, pasien Covid-19 yang meninggal masih akan tetap ada. Sama seperti pada kasus penyakit menular lainnya, yang sudah lebih dulu menjangkiti Indonesia.

Memasuki masa endemi itu, Tjandra mengajak masyarakat tetap menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat. Supaya terhindar dari penyakit menular, termasuk Covid-19.

 “Memang masyarakat umum tidak perlu pakai masker lagi, tetapi akan baik kalau masker tetap digunakan untuk mencegah Covid-19,” jelas dia. Khususnya untuk lansia dengan komorbid serta orang yang sedang terjangkit Covid-19.

Tjandra menjelaskan bagi pemerintah, tetap perlu menjaga kegiatan surveilan, pengamatan penyakit (dan genomik) secara terus menerus. Tujuannya agar jika ada gejolak epidemiologi bisa terdeteksi dan tertangani segera. Kemudian meningkatkan riset untuk Covid-19. Karena masih banyak fenomena ilmiah yang belum diketahui dan kuasai sepenuhnya.

Panja DPR Sebut RUU Kesehatan Berpihak pada Nakes
Pandemi Covid-19 menjadi titik balik kesadaran bahwa kondisi infrastruktur kesehatan di Indonesia masih cengkarut. Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dianggap bisa jadi payung hukum untu melaksanakan transformasi kesehatan.

Salah satu permasalah layanan kesehatan adalah soal sumber daya manusia (SDM) kesehatan. Yamg dikhawatirkan adalah RUU ini tidak berpihak pada tenaga kesehatan yang akhirnya berdampak pada layanan kesehatan. Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyebut bahwa RUU Kesehatan justru sangat menguntungkan tenaga kesehatan maupun tenaga medis. “Ada beberapa hal yang sebelumnya tidak ada di undang-undang yang sudah eksis tapi ada di RUU Kesehatan,” kata Edy,  Rabu (21/6).

Dia menyebutkan dalam RUU Kesehatan terdapat klausul terkait tunjangan kinerja. Menurutnya ini merupakan hal yang baru dan tidak ada di undang-undang keprofesian lain.

Ada juga hak lain yang secara jelas ditulis di RUU Kesehatan.  Misalnya imbalan jasa dan kesempatan untuk mengembangkan diri di bidang keprofesiannya. “Hak lain dari tenaga kesehatan dan tenaga medis adalah mendapat jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan,” unglapnya. Edy juga meyebut keselamatan dan kesehatan kerja dari tenaga kesehatan juga wajib dilindungi.

Tenaga kesehatan di wilayah yang sulit pun mendapat perhatian. Edy menyatakan, dalam RUU Kesehatan sangat memperhatikan kesejahteraan nakes. Hal itu diatur dalam beberapa pasal. ”Misalnya tenaga medis dan kesehatan yang bertugas di daerah perbatasan, kepulauan, hingga daerah yang bermasalah kesehatan memperoleh tunjangan khusus, dukungan sarana prasarana, dan alat kesehatan,” ujarnya.

Tidak hanya itu, mereka pun mendapatkan kompensasi lebih dengan kenaikan pangkat luar biasa ketika bersedia ditempatkan di daerah 3T dan rawan. Jaminan tersebut tentunya disertai dengan jaminan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. ”Nakes juga memperoleh pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sepanjang sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi, serta kebutuhan Kesehatan pasien,” papar anggota panja RUU Kesehatan dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

”Tentang SDM kesehatan, masalah utama itu kekurangan dokter spesialis. Maka, dibuka jalur pendidikan spesialis berbasis hospital,” kata dia. Program ini nantinya diselenggarakan oleh rumah sakit pendidikan, khususnya milik pemerintah dan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan kolegium. Nantinya, pendidikan spesialis berbasis hospital ini dimasukkan dalam satu sistem dengan pendidikan spesialis kesehatan. Dengan demikian, standar pendidikan menjadi sama dan mutu kesehatan menjadi terjamin.

Edy menegaskan bahwa yang termuat pada klausul di RUU Kesehatan merupakan penghargaan kepada tenaga kesehatan dan tenaga medis. Hak-hak mereka dipastikan tertuang dalam payung hukum yang jelas. Sehingga diharapkan dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat pun jadi lebih baik.

Hal lainnya yang menjadi perdebatan adalah mengenai biomedical dan pengembangan ilmu genomic atau genetika. Melalui Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi) pemerintah mengumpulkan informasi genetik Masyarakat. Dikhawatirkan data kesehatan Masyarakat ini tidak bisa dijaga dan nantinya disalahgunakan.

Menanggapi hal ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan program ini sudah dilakukan oleh negara maju. Menurutnya perkembangan teknologi di sektor kesehatan sudah maju. Tidak perlu pakai cara lama lagi. “Sudah personal. Sebab bioteknologi sudah memungkinkan tahu lebih detil penyebab penyakit,” katanya. Sehingga dengan metode ini penyebab sakit setiap individu sudah bisa diprediksi.

Budi pun menjamin bahwa keamanan data akan pasti terjaga. “Data harus terproteksi itu pasti. Karena kita tahu negara kita kekayaannya di sini,” katanya. Saat ini belum ada aturan terkait pengambilan sampel genomic. Sehingga, menurut Budi, rawan untuk pengambiland data secara sembrono.

Kemarin, Presiden Joko Widodo juga memperhatikan terkait polemic RUU Kesehatan. Namun dia enggan berkomentar. “Itu masih wilayahnya DPR. Tunggu saja. Nanti kalau sudah diketok, akan kita kerjakan,” katanya. (lyn/wan/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook