“Saya harus PCR dulu. Baru bisa rapat,” ujar saya pada Meiling. Pun di Singapura. Hasil PCR baru dikirim 24 jam setelah tes.
Malam itu, meski ada rapat jam 19.00 saya harus mampir PCR. Lusanya, pagi-pagi, saya harus balik ke Indonesia.
“Kenapa harus PCR?” tanya Meiling.
“Saya tidak tahu. Mungkin peraturan Singapura,” jawab saya asal-asalan.
Meiling pun mencarikan tempat PCR di dekat Financial Center –tempat rapat malam itu. Sambil makan malam. Di gedung tertinggi nomor 2 di Singapura.
“PCR di Raffles Hospital saja,” katanyi setelah selesai utak-atik HP-nyi.
Bentley itu pun berbelok ke alamat yang dimaksud. Naik ke lantai 2. Wow. Antrean panjang. Mau PCR semua. Ada antrean go show, ada antrean ‘’sudah buat janji’’. Mula-mula saya antre di go show. Meiling urus pembayaran: SGD 115. Selesai bayar, Meiling minta saya pindah jalur.
Sambil menemani antre, Meiling bertanya ke petugas di situ. “Keharusan PCR ini peraturan Singapura atau peraturan Indonesia?” tanyanyi.
“Peraturan Indonesia,” jawab petugas itu.
Meiling pun memukul pundak saya. “Dengar sendiri kan?” ujarnyi dalam Bahasa Mandarin.
Proses PCR itu cepat sekali. Administrasi awalnya yang lama: banyak daftar isian di kertas. Seperti bukan di Singapura saja.
Keluar dari RS saya sudah menerima email dari rumah sakit itu. Rupanya sekadar testing. Apakah alamat email yang saya tulis di kertas isian tadi sudah benar. Testing itu penting karena hasil PCR akan dikirim ke alamat email saya.
Harusnya saya tahu bahwa itu peraturan Indonesia. Dua hari sebelumnya saya meninggalkan Singapura ke Malaysia. Jalan darat. Lewat jembatan Tuas. Yang melengkung tinggi di atas laut selat Johor.
Di pos perbatasan Singapura, sebelum melewati jembatan, kami tidak ditanya apa-apa. Soal Covid. Hanya menyerahkan paspor untuk distempel. Setelah jembatan, di pos perbatasan Malaysia, juga tidak ditanya Covid. Hanya menyerahkan paspor. Untuk distempel oleh petugas imigrasi Malaysia.
“Horeeee, kita ke luar negeri,” teriak Meiling kepada suaminyi yang lagi pegang kemudi.
Hari itu saya tidak menawarkan diri untuk mengemudi. Saya tahu diri. Sang suami lebih mampu. Punya hobi balap mobil. Seperti ayahandanya. Mobil mereka banyak sekali: Bentley, Mercy, Jaguar, Ferrari... entah apa lagi.
“Terima kasih Pak Dahlan. Kalau tidak karena Pak Dahlan kami pun belum akan ke luar negeri,” ujar Meiling. “Sudah hampir tiga tahun kami tidak ke mana-mana,” tambahnyi.
Sang suami sudah sering mengemudi di jalur Singapura-Kuala Lumpur itu. Juga di banyak jalur di Eropa, Amerika, dan Australia. Saya baru dua kali. Yang pertama naik bus. 40 tahun lalu. Yang kedua bersama Robert Lai. Tujuh tahun lalu.
Kali ini saya ingin mencatat di setiap gerbang tol. Ingin tahu berapa biaya tol dari Singapura ke Kuala Lumpur.
Awalnya saya heran. Di pintu tol pertama tertulis 0 ringgit. Saldo di kartu tol milik Sang suami tidak berkurang.
Di pintu tol berikutnya juga sama: 0 ringgit. Saldo utuh. Oh... Mungkin baru di pintu tol terakhir bayarnya.
Kami pun mampir rest area. Ingin juga menyumbangkan air tubuh saya di Malaysia itu. Agar jangan hanya menyumbang untuk IKN. Rest area itu sudah berumur lebih 30 tahun. Tidak jreng lagi. Tapi masih tetap terawat. Hanya desainnya sudah terasa kuno. Sudah berumur 42 tahun. Kalah dengan rest area baru di dekat Salatiga, Jateng.
Di rest area itulah saya bertanya pada pengendara lain. Soal 0 ringgit tadi. Jawabnya mengingatkan saya bahwa hari itu adalah hari arus balik. Hari ke-7 setelah Idulfitri. Liburan sudah habis. Banyak orang yang dulu mudik harus balik ke ibu kota.
Dan hari itu pemerintah Malaysia menggratiskan jalan tol di seluruh negara. Itu bagian dari hadiah Lebaran. Dari negara untuk rakyatnya.
Hadiah Lebaran pertama diberikan sehari sebelum Lebaran dan di hari Lebaran. Tol gratis.
“Wah, kami juga dapat hadiah Lebaran dari pemerintah Malaysia,” ujar suami Meiling.
Itu betul. Di pintu terakhir masuk kota Kuala Lumpur tarifnya benar-benar 0 ringgit.
Jarak Singapura-Kuala Lumpur itu hanya 5 jam perjalanan. Itu pun dengan kecepatan disiplin: maksimum 120 km/jam. Tidak berani lebih dari itu. Apalagi baru saja kami melihat: Lamborghini yang belum lama menyalip kami, terlihat parkir di pinggir jalan. Ada dua polisi yang lagi mencegat Lambo itu.
Tidak banyak beda tol Malaysia ini dengan di Indonesia. Kecuali lebih mulus. Sejak dulu.
Pembeda lainnya: sepeda motor tidak dilarang masuk tol. Anehnya tidak banyak motor yang memanfaatkan fasilitas itu. Maka sepanjang Singapura-Kuala Lumpur tidak sampai 20 sepeda motor yang terlihat di jalan tol.
Mungkin Indonesia tidak akan meniru itu. Pernah jalan tol menuju stadion Gelora Bung Tomo dibuka untuk motor. Tepat di Persebaya day. Mampet. Wani!
Tiba di Kuala Lumpur kami langsung ke Ritz Carlton. Bermalam di situ. Agar dekat dengan Bukit Bintang –Orchard Road-nya Kuala Lumpur masa kini. Hidup sekali. Lebih hidup dari yang di Singapura. Sambil kya-kya di Bukit Bintang, saya tergoda bertanya ke diri sendiri: di mana ya di Jakarta bisa kya kya seperti ini.
Setelah bertemu Anwar Ibrahim –dan beberapa relasi– keesokan harinya kami balik ke Singapura. Lewat jalan yang sama. Tidak ada lagi hadiah Lebaran dari negara.
Saya pun bisa mencatat tagihan tol sepanjang 414 km itu. Tidak untuk dibanding-bandingkan.
Dari Kuala Lumpur ke pintu tol Johor Bahru 32 ringgit.
Dari situ ke Jembatan Tuas 3 ringgit.
Tol jembatan Tuas 6 ringgit. Hasilnya tentu dibagi dua dengan Singapura.
Total: Anda sudah tahu.
Hari itu pun kami merasa dirugikan Malaysia 39 ringgit. Saat berangkatnya dulu kami tidak merasa untung 39 ringgit.
Begitulah fitrah manusia. Setelah Idulfitri. Sulit berterima kasih. Sulit juga mencatat jasa orang lain.
Tentu Meiling tidak perlu lagi memukul pundak saya. Lain kali. Aturan wajib PCR itu barusan dihapus. Presiden Jokowi sendiri yang menghapus. Sekalian dengan no masker di luar ruang.
Di Indonesia, peraturan baru itu banyak dibaca: bebas masker. Di mana pun. ***
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.