JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal memberikan subsidi untuk BBM (bahan bakar minyak) beroktan tinggi. Wacana itu disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Selasa (19/3). Subsidi itu bertujuan menekan konsumsi BBM yang tidak ramah lingkungan.
Jonan mengungkapkan, wacana subsidi tersebut akan masuk dalam anggaran tahun depan. ’’Kami ajukan dari Kementerian ESDM (agar) premium itu (dijual sesuai) harga market saja. APBN 2020 dibalik (pemberian subsidinya),” ujarnya.
Dia lantas menambahkan bahwa produk BBM yang sebaiknya diberi subsidi adalah RON 92 atau jenis pertamax. ’’Yang lain tidak disubsidi. Jadi, yang banyak digunakan adalah bahan bakar ramah lingkungan,” terang Jonan.
Pemberian subsidi untuk BBM beroktan 92, menurut dia, akan membuat konsumsi masyarakat berubah ke produk yang ramah lingkungan. Sebab, harganya lantas menjadi lebih terjangkau. Kendati demikian, Kementerian ESDM belum memerinci apakah subsidi akan diberikan secara merata atau tidak.
Misalnya, hanya akan diberikan bagi masyarakat tidak mampu. Saat ini, disparitas harga premium (RON 88), pertalite (RON 90), dan pertamax (RON 92) di Indonesia masih tinggi. Harga premium Rp 6.450,00 per liter. Sedangkan pertalite dan pertamax masing-masing mencapai Rp7.650,00 dan Rp 9.850,00 per liter.
Akibatnya, premium dan pertalite masih menjadi konsumsi terbesar masyarakat. Padahal, di sejumlah negara, BBM dengan oktan rendah tersebut tidak dikonsumsi lagi. Alasannya, tidak ramah lingkungan. Malaysia, sebut Jonan, justru memberikan subsidi untuk BBM beroktan 95. ’’Ke depannya, kami akan menghapus subsidi produk dan menggantikannya dengan subsidi langsung,” ungkapnya.
Kebijakan itu sejalan dengan proyek Langit Biru Cilacap. Proyek tersebut meningkatkan spesifikasi BBM yang diolah kilang Cilacap dari RON 88 menjadi RON 92. Selain kilang Cilacap, beberapa kilang Pertamina akan memproduksi BBM dengan spesifikasi minimal Euro 4 atau RON 91. Yakni, kilang di Balongan, Bontang, dan Tuban.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan bahwa pemerintah perlu melakukan kajian lebih jauh terkait sasaran penerima subsidi. ’’Asalkan harga subsidi BBM oktan tinggi setara dengan harga solar sekarang ini, ya tidak masalah. Tetapi, kalau ada disparitas harga, meski sudah disubsidi, khawatirnya jadi kurang tepat sasaran,” imbuhnya.
Di samping itu, menurut Bhima, masih akan muncul kendala lain pasca pengalihan subsidi. Yakni, terkait masa transisi dan ketersediaan BBM oktan tinggi. ’’Di beberapa daerah, SPBU masih dominan solar. Harus berhati-hati soal subsidi ini karena bisa berpengaruh ke inflasi dan daya beli,” terangnya.
Khawatirkan Pendapatan Migas
Harga minyak dunia yang cenderung turun beberapa waktu terakhir berdampak pada pendapatan negara dari sektor migas. ’’Di tahun 2016, target pendapatan migas tidak tercapai. Kalau turun (harga minyak), tidak mudah mencapai yang ditargetkan,” ujarnya di DPR.
Pada 2018, realisasi PNBP (penerimaan negara bukan pajak) sektor migas mencapai Rp 163,44 triliun. Naik hampir dua kali lipat dibandingkan target dalam APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) 2018. Capaian tersebut membuat pemerintah berani mencanangkan target yang tinggi tahun ini. Yakni, Rp 168,62 triliun.
Target itu disusun berdasar asumsi ICP (Indonesia Crude Price) 70 dolar AS per barel. Faktanya, rata-rata ICP Januari sampai Februari 2019 hanya 58,93 dolar AS per barel. ’’Itu jadi tantangan ke depan. Kita lihat bagaimana, belum ada pertemuan cabinet, apakah ada APBNP atau tidak karena asumsi 70 dolar AS per barel itu tidak tercapai dua bulan pertama,” urainya.(vir/c17/hep/jpg)