JAKARTA (RIAUPPS.CO) - Representasi perempuan dalam lembaga politik belum memenuhi standar yang diharapkan. Padahal, keterwakilan perempuan dibutuhkan untuk mengadvokasi kebijakan yang berperspektif gender.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama mengatakan, penerapan kuota 30 persen perempuan sudah berlangsung sejak Pemilu 2004. Namun dalam implementasinya, afirmasi tersebut belum berhasil mengantarkan perempuan masuk lembaga politik secara ideal. Termasuk di level DPR RI.
"Ada 19 dapil (DPR) di 6 provinsi yang tidak ada perempuan," ujarnya dalam diskusi virtual, kemarin (19/9). Di DPD RI yang tak punya regulasi afirmasi, situasinya pun tidak jauh berbeda. Dari 34 provinsi, delapan daerah di antaranya sepenuhnya diwakili laki-laki.
Sementara di daerah atau di level DPRD, angka keterwakilan perempuan juga masih rendah. Di DPRD Kabupaten/Kota, tercatat ada 21 daerah yang sama sekali tidak punya anggota perempuan. Adapun di DPRD Provinsi, rata-rata keterwakilan baru belasan persen. Bahkan di DPRD Nusa Tenggara Timur, dari 65 kursi, 64 dijabat laki-laki. "(Padahal) ketika perempuan hadir di legislatif, maka dia hadir kebijakan yang berspektif gender. Dari segi anggaran, kebijakan," tuturnya.
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, tantangan keterwakilan perempuan adalah fakta di banyak negara. Bahkan terjadi di Amerika Serikat. Nasib itu dirasakan Hillary Clinton saat kalah dalam Pilpres 2016. "Negara role model demokrasi saja masih terkendala menjadikan perempuan menjadi presiden," ujarnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI itu menilai, akses politik bagi perempuan sudah jauh lebih baik. Salah satunya adalah kewajiban aturan dalam UU. Hanya saja, diakuinya, dalam konteks kompetisi masih tidak mudah. Sebab, dalam sistem pemilu Indonesia yang liberal, ada banyak aspek yang harus dipenuhi untuk bisa memenangi kontestasi.
Namun dia menekankan, meski keterwakilan perempuan dibawah standar ideal, perumusan kebijakan dewan tetap memperhatikan kepentingan perempuan. Termasuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Willy menjadi ketua panitia kerja kedua RUU itu. "Secara perspektif tak jadi masalah," ujarnya.(far/bay/jpg)