SAYA makan sop kaki kambing di pinggir Jalan Plaju, Jakarta. Di kaki lima. Waktu tolah-toleh terbaca papan nama: Penerbit Obor. Berarti di belakang sop kaki kambing ini lembaga yang menerbitkan buku saya: Teladan dari Tiongkok.
Saya melangkah ke kantor itu. Masih tutup. Saya ketuk pintunya. Saya intip ada setumpuk buku baru di dalamnya: buku saya itu. Maka kepada penjaga kantor saya memperkenalkan diri: si penulis buku. Lalu saya minta satu.
Diberi dengan ragu.
Obor-lah yang punya ide. Berbagai tulisan saya tentang Cina dijadikan satu. Agar bisa menjadi sebuah buku. Novi Basuki yang jadi editornya. Saya tidak keberatan. Jadilah.
Buku itu diluncurkan kemarin. Di gedung Perkumpulan INTI (Indonesia Tionghoa), Kemayoran. Saya sudah punya bukunya sebelum secara resmi diserahkan ke penulisnya.
Tapi yang terpenting dalam acara itu bukanlah saya. Ada bintang baru dalam hubungan dengan Cina. Namanya: Novi Basuki. Ia lulusan pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Ia lebih orang pesantren dibanding saya: selalu pakai kopiah.
Dan lagi Novi sekolah di Cina: sejak S-1, S-2, sampai S-3. Disertasi doktornya ditulis dalam bahasa Mandarin.
Kini Novi redaktur Harian Disway. Ia, bersama Annie Wong, mengasuh rubrik Cheng Yu, pepatah Cina yang sering terdiri dari empat kata itu.
Idenya lahir dari kenyataan sehari-hari: begitu banyak orang tua Cina yang mengajarkan filsafat hidup ke anak mereka lewat cheng yu. Tapi kian lama kian redup.
Novi menghidupkannya kembali. Dulu hampir saja saya memanggilnya Mbak Novi. Ternyata laki-laki. Memang Novi bukan nama saat ia dilahirkan. Nama lahirnya Jari. Ia jatuh sakit-sakitan. Sakit berat. Itu disebabkan nama yang tidak cocok. Bagi yang percaya. Lalu nama Jari diganti Dedi. Masih sakit. Diganti lagi dengan Baihaqi. Tidak juga sembuh. Lalu diganti Novi Basuki. Sampai sekarang.
“Sama-sama nama wanita saya sebenarnya lebih suka nama Septi,” guraunya. “Saya kan lahir bulan September, bukan November”.
Di balik sikap pendiamnya Novi punya banyak humor tentang dirinya. Misalnya ia suka bilang dilahirkan di ketinggian setara dengan apartemen 15 lantai.
Maksudnya: ia lahir di lereng gunung Argopuro, Situbondo bagian selatan. Ayahnya membuka toko di desa itu. Sekaligus petani.
Novi anak tunggal. Setamat SD ia sudah ingin ke pondok Nurul Jadid. Pondok yang sangat terkenal. Itulah pondok pesantren level ‘’bintang sembilan’’ di lingkungan NU.
Belum diizinkan. Masih terlalu kecil. Setelah tamat SMP barulah Novi boleh ke Nurul Jadid. Novi ingin masuk jurusan eksakta. Nilai matematika di SD dan SMP-nya terbaik. Tapi yang tersedia di Nurul Jadid jurusan bahasa.
Di jurusan bahasa itu santri diasramakan. Dalam asrama ada aturan: wajib berbahasa asing selama 24/7. Tinggal pilih. Boleh Mandarin, boleh Inggris, boleh bahasa Arab.
Novi menonjol sekali dalam penguasaan bahasa Mandarin. Melebihi bahasa Inggris dan Arabnya. Ia angkatan ketiga sejak Nurul Jadid memasukkan bahasa Mandarin di jurusan bahasanya. Maka Novi diikutkan lomba pidato bahasa Mandarin di Jakarta: juara.
Sejak itu ia menerima banyak tawaran beasiswa kuliah di Tiongkok. Sampai doktor.
Banyak teman santri Novi di Nurul Jadid yang meneruskan kuliah di Tiongkok. Kini santri Nurul Jadid yang lulus S-1 dari Tiongkok sudah lebih 200 orang.
Apa yang kita harus belajar dari Tiongkok versi Novi?
“Membuka pikiran,” katanya.
Ia mengutip kata-kata Deng Xiaoping: kalau kita berdebat terus tidak akan pernah bisa bekerja.
Novi jadi pembicara di bedah buku kemarin. Pembicara satunya, seperti dilaporkan komentator Johannes Kitono, adalah Christine Susanna Tjhin. Dia seorang peneliti yang pernah lama di CSIS Jakarta. Yang jadi moderator: Mercedes Amanda yang satu kampus dengan Novi.
Dari tempat acara itu saya langsung ke Halim. Harus terbang ke Semarang untuk lanjut ke Demak. Sebenarnya ingin juga mampir berperahu ke ‘’tanah musnah’’ di proyek jalan tol Semarang-Demak itu, tapi Sabtu sudah terlalu senja. Tanah musnah itu tambah hilang di waktu malam.***