IA memang sudah tidak lagi jadi menteri. Tapi alangkah baiknya kalau M. Nasir datang ke Universitas Diponegoro.
Mantan Menristekdikti itu bisa melihat hasil kebijakannya dulu: memberikan proyek inovasi ke 8 perguruan tinggi.
Dari 8 itu tiga masih bertahan. Salah satunya di Undip Semarang.
Itulah proyek riset plasma. Yang dipimpin Dr Muhammad Nur, yang saat itu belum profesor.
M Nur lulusan fisika nuklir Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Lalu ke Prancis memperdalam soal plasma. Mulai S2 sampai S3. Di kota riset Grenoble yang bersalju. Di atas gunung dekat perbatasan dengan Swiss. Di Joseph Fourier University. Doktor tahun 1997. Disertasinya ditulis dalam bahasa Prancis.
Prof Nur melakukan riset ini: mengawetkan sayur, bawang, dan cabai lewat ozon. Ozonnya sendiri dibuat dari plasma.
Berkat proyek inovasi dari kementerian itulah Prof Nur bisa menggabungkan banyak ahli. Dari berbagai disiplin ilmu. Mulai dari teknik mesin, elektro, teknologi pangan, sampai ahli organik. Total 20 orang.
Dari situ dirancang mesin pembuat ozon. Manfaatnya: sayur yang diberi ozon bisa bertahan lebih lama. Cabai yang dicuci dengan air berozon bisa bertahan sampai 12 hari. Bahkan bisa dua bulan. Kalau setelah dicuci disimpan di penyimpan yang dingin.
Itu tidak lagi sebatas penelitian. Mesin pembuat ozon itu kini sudah diproduksi. Sudah dijual. Sudah komersial. Yang membuat mesinnya: perusahaan swasta di Semarang. Dengan sistem lisensi. Undip akan dapat hasil dari lisensi itu. Ilmuwannya nanti dapat insentif dari universitas.
Sebagai ahli fisika dan ahli plasma, Prof Nur tahu bahwa ozon bisa dibuat dari plasma. Plasma bisa dibuat dari oksigen. Oksigen bisa didapat dari udara.
Maka mesin yang ia ciptakan adalah mesin menyedot udara. Lalu dirangkai dengan mesin pemisah unsur-unsur dalam udara. Reaktor.
Unsur nitrogen yang mencapai 78 persen dari udara tidak ia pakai. Disisihkan. Demikian juga yang 2 persen unsur-unsur kecil lainnya. Yang ia gunakan hanya yang 20 persen: unsur oksigen.
Oksigen itu ia proses di rangkaian mesin berikutnya. Untuk dijadikan plasma.
Anda sudah tahu apa itu plasma: yakni jenis ke-4 benda. Yakni setelah benda padat, benda cair, dan benda gas. Waktu saya sekolah dulu baru ada tiga jenis benda. Kini sudah ada jenis benda ke-4.
Plasma tersebut lantas diproses lagi menjadi ozon.
Tapi ozon tidak bisa disimpan. Entah kelak. Karena itu siklus pembuatan ozon tersebut harus dilakukan di tempat penggunanya.
Misalkan di Aspakusa. Di Boyolali, Jateng. Aspakusa adalah perusahaan sayur yang sangat besar. Ia penyalur sayur untuk begitu banyak supermarket di Indonesia.
Aspakusa salah satu perusahaan yang membeli mesin ozon made in Prof Nur Undip. Di Aspakusa, ozon yang keluar dari mesin itu dialirkan lewat pipa menuju ‘’kolam’’ pencuci sayur. Ozonnya menyatu dengan air. Airnya mencuci sayur. Segala mikroorganisme pun hilang. Sayur menjadi tidak cepat membusuk. Dan lebih sehat.
Maka Prof Nur harusnya menjadi orang yang bisa dimanfaatkan untuk ikut melawan inflasi. Terutama inflasi akibat harga cabai dan bawang. Yang kalau harganya melonjak tidak ketulungan. Dan kalau merosot bikin tomat dibuang-buang.
Tentu belum ada standar satuan ozon. Maka Prof Nur membuat standar itu untuk Indonesia. Satu mesin ciptaan Prof Nur bisa memproduksi ozon 100 gram per jam.
Kapasitas itu bisa dipakai mencuci cabai 1 ton. Kalau mesin bisa bekerja 10 jam per hari berarti bisa untuk 10 ton cabai.
Harganya murah: Rp70 juta. Amerika dan Eropa memang sudah bisa membuat mesin ozon. Lebih dulu. Tapi cara memperoleh ozonnya berbeda.
Yang di Undip itu orisinal karya Prof Nur. Harganya hanya sepertiga dari buatan Amerika.
Berarti Undip perintis mesin ozon untuk Asia Tenggara. Kini kita mulai bisa mengalahkan Thailand di bidang ini.
Perkebunan cabai di Sumut juga sudah membeli mesin Prof Nur. Yakni untuk ozonisasi cabai hasil perkebunan seluas 1.200 hektare di sana. Di pusat sayur Jateng, Kopeng-Semarang, juga sudah menggunakannya.
Tapi yang Sumut itu punya arti khusus bagi Prof Nur. Ia orang Sumut. Lahir di Kisaran. Sampai SMA masih di Kisaran. Ayahnya nelayan. Kira-kira saya tahu rumahnya: di dekat pantai penghasil ikan itu.
Waktu SMA Nur sudah membaca buku Einstein. Teori relativitas. Ia juga sudah tahu ke mana kirim surat untuk bisa bertanya soal fisika yang rumit. Ia sering kirim surat ke ITB dan UGM. Nilai matematika dan fisikanya 9,9.
Maka Nur bertekad harus kuliah di Jawa. Pilihannya: elektro atau fisika. Fisika atau elektro. Malam terakhir, saat mengisi formulir pendaftaran, ia putuskan: fisika.
Di Kisaran suku Melayu dominan. Ada pepatah melayu yang jadi pegangannya. “Nasib itu bisa seperti batu atau sabut. Tenggelam atau timbul”. Ia bertekad ke Jawa agar tidak bernasib seperti batu.
Di UGM itu ia kenal gadis adik kelas. Asal Prembun, Kutoarjo. Itulah istri Prof Nur sekarang. Juga doktor fisika. Asli dalam negeri: UGM semua.
Dua doktor fisika kawin. Saya tidak tahu bagaimana 3 anak mereka nanti.***