JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Belakangan, banyak beredar pesan berantai tentang fenomena Aphelion. Yaitu, fenomena bumi berada pada titik terjauh dari matahari. Dalam pesan tersebut disampaikan, Aphelion memicu cuaca yang lebih dingin dari biasanya. Hal itu diklarifikasi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menyatakan, Aphelion tidak berkaitan dengan suhu dingin. Dia menjelaskan bahwa fenomena Aphelion rutin terjadi setiap awal Juli, merujuk pada pergerakan bumi.
''Karena orbit bumi sedikit elips,'' katanya, kemarin (16/7).
Pergerakan orbit yang memengaruhi jarak bumi dengan matahari. Pada waktu tertentu, bumi berada di titik terjauh dengan matahari. Sebaliknya, pada waktu lain, bumi bisa berada di titik terdekat dengan pusat tata surya tersebut. Lain halnya dengan Aphelion. Posisi terdekat bumi dengan matahari disebut Perihelion. Situasi itu terjadi setiap Januari. Thomas menegaskan bahwa fenomena Aphelion tidak berdampak pada suhu permukaan bumi. Sebab, meski bumi berada di titik terjauh dengan matahari, tidak ada perubahan radiasi matahari terhadap bumi secara signifikan.
Menurut dia, suhu permukaan bumi lebih ditentukan distribusi panas akibat perubahan posisi matahari, angin, dan tutupan awan.
''Suhu dingin saat ini disebabkan angin dingin dari Australia,'' jelasnya.
Selain itu, suhu dingin dipicu minimnya awan. Dengan begitu, panas yang tersimpan di permukaan bumi saat siang dilepaskan ke antariksa. Keterangan yang disampaikan Thomas tersebut sesuai dengan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Versi BMKG, suhu dingin yang belakangan dirasakan masyarakat Indonesia adalah fenomena alamiah dan biasa terjadi. Suhu dingin biasanya terjadi pada bulan-bulan puncak musim kemarau, yakni pada Juli sampai September.
Selain itu, suhu dingin yang dirasakan masyarakat di Pulau Jawa sampai NTT disebabkan angin muson (monsoon) timur. Angin yang bertiup dari arah timur dan berasal dari Benua Australia itu mengakibatkan musim kemarau di Indonesia. Angin dingin yang bertiup dari Australia tersebut disebabkan Negeri Kanguru itu sedang memasuki musim dingin.
Fenomena Aphelion terjadi pada 6 Juli pukul 07.27 WIB. Saat itu jarak antara bumi dan matahari tercatat mencapai 152.100.527 kilometer. Sebagaimana diketahui, jarak rata-rata antara bumi dan matahari adalah 149,6 juta kilometer.
Pertengahan bulan ini, tepatnya pada 15 Juli dan 16 Juli pukul 16.27 WIB, terjadi fenomena astronomi lain. Yaitu, posisi matahari melintas persis di atas Kakbah. Peristiwa itu juga dikenal dengan istilah Istiwa A'zham atau Rashdul Qiblah. Saat matahari berada persis di atas Kakbah, bayang-bayang benda yang berdiri tegak lurus di mana pun juga mengarah ke Kakbah. Fenomena itu bisa dimanfaatkan umat Islam untuk memverifikasi arah kiblatnya. Baik itu kiblat masjid, musala, maupun lainnya.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais Binsyar) Kemenag Agus Salim menyatakan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memverifikasi kiblat ketika terjadi Rashdul Qiblah. Pertama, pastikan benda yang menjadi patokan berdiri tegak lurus. Kemudian, permukaan dasar harus betul-betul datar atau rata. Terakhir adalah jam pengukuran harus disesuaikan dengan penentuan BMKG, RRI, atau Telkom.(wan/c14/bay/jpg)