(RIAUPOS.CO) -- HARUS pergi. Warga AS di Iraq diminta tinggalkan negara itu. Pesawat pembom AS sudah tiba di Bahrain. Armada lautnya sudah di Selat Hormuz. Sebanyak 120.000 tentara Amerika disiapkan berangkat. Adakah Amerika segera menyerang Iran?
Presiden Donald Trump membantah pengiriman tentara itu. “Itu berita palsu,” katanya Rabu lalu.
Ia hampir selalu begitu. Menilai berita di New York Times sebagai berita palsu. “Kalau toh akan kirim tentara jauh lebih banyak dari itu,” katanya.
Berarti benar? Siap kirim tentara? Kelihatannya tinggal tunggu alasan pembenar. Seperti saat menyerang Iraq dulu. Ditemukan alasan: Saddam Husein memproduksi senjata kimia. Contoh kimia di dalam botol pun ditunjukkan kepada wartawan. Yang kelak diakui itu hanya rekayasa intelijen.
Untuk menyerang Iran sebenarnya sudah disediakan alasan terbaru. Yang bisa membuat serangan ke Iran itu sah. Yakni lubang di dua kapal yang lagi berlabuh di Fujairah, Uni Emirat Arab. Salah satunya milik Saudi Arabia. Satunya lagi milik Norwegia. Keduanya lagi bermuatan minyak mentah. Lubang di kapal itu sudah dipublikasikan sebagai tindakan sabotase Iran. Atau kelompok yang dikendalikan Iran.
Pokoknya lubang itu terjadi setelah membentur benda. Entah apa jenis benda itu. Tapi tidak sampai membuat kapal bocor. Foto lubang itu dipublikasikan di media internasional. Kalau di balik kebencian pada Cina ada Steve Bannon (baca DisWay sebelumnya) di balik kebencian pada Iran ada John Robert Bolton. Bolton-lah yang sejak lama anti Iran. Termasuk ia juga yang mendorong Trump untuk membatalkan sepihak perjanjian internasional perlucutan nuklir Iran. Yang bikin Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina sewot, tapi tidak bisa banyak berbuat.
Negara-negara itu sebenarnya memihak Iran. Tetap mengizinkan perusahaan mereka berbisnis dengan Iran. Tapi perusahaan itu sendiri yang takut. Bisnis mereka dengan Amerika jauh lebih besar. Secara bisnis lebih baik mengorbankan Iran. Dari pada kehilangan bisnis dengan Amerika.
Bolton jugalah yang pro serangan ke Iraq dulu. Bahkan ia juga pro penyerangan terhadap Vietnam Utara. Saat itu umurnya baru 20-an tahun. Pada tahun 1969 itu. Kini Bolton sudah berumur 70 tahun. Hidup rukun dengan istrinya. Dan satu putrinya. Jabatan resminya sangat strategis: penasihat keamanan nasional Presiden Trump. Bolton jugalah di balik ancaman serangan pada Korea Utara. Yang tujuan akhirnya tunggal: gulingkan Kim Jong-Un. Seperti misinya yang lain: gulingkan Maduro di Venezuela, gulingkan Ayatullah Khamenei di Iran, gulingkan Basyar Asad di Suriah.
Bolton adalah lulusan terbaik Yale University: summa cum laude. Salah satu universitas terbaik di Amerika. Lalu menjadi pengacara. Bergabung ke Partai Republik. Menjadi tokoh ekstrem kanan. Dan pernah ingin menjadi calon presiden. Ia kalah sebelum babak penyisihan tingkat partai. Bolton pernah dicela. Sebagai salah satu pendukung perang Vietnam ia tidak mau berangkat perang. Saat ia berumur 17 tahun.
“Waktu itu saya menjelang lulus. Dan lagi saya tidak mau mati di sebidang sawah di Asia Tenggara,” katanya.
Tapi sebenarnya ia sudah menandai: Dalam perang Vietnam itu, Amerika akan kalah. Waktu itu mencari sukarelawan perang kian sulit. Gerakan anti perang Vietnam meluas di Amerika. Banyak yang menolak dikirim ke Vietnam. Termasuk yang masih Anda ingat: petinju Mohamad Ali. Yang sampai dijatuhi hukuman berat: gelar juara dunianya dicopot. Saking sulitnya sampai Amerika mewajibkan siapa saja untuk berangkat perang. Dengan cara diundi.
Panitia undian, komite rekrutmen tentara, menulis angka 1 sampai 366. Di secarik kertas. Lalu digulung. Dimasukkan kapsul kecil. Itulah angka jumlah hari dalam setahun. Setelah dipotong hari raya. 366 kapsul itu dimasukkan kotak sepatu. Dikocok. Lalu dituang ke tabung kaca. Diundi. Siapa pun lelaki yang lahir antara tahun 1944 sampai 1949 harus mendaftar ikut undian. Atau, berarti, berumur 15 sampai 20 tahun.