JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sejumlah upaya untuk menekan angka pernikahan dini di Indonesia dilakukan pemerintah, salah satunya mendorong revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) tengah mengkaji kembali poin demi poin dalam undang-undang tersebut.
Adapun kedua kementerian juga menggandeng sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk mendorong revisi UU Perkawinan, terutama dalam hal batas usia minimal seseorang diizinkan menikah.
“Bilamana mayoritas menyetujui agar pemerintah menaikkan usia anak ini, maka kami akan secepatnya dan Menteri Agama (Menag) sudah setuju. Ini menjadi prioritas kami di tahun ini,” ucapnya usai menghadiri Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VIII DPR, Jakarta, Senin (16/4/2018).
Dalam Pasal 7 UU Perkawinan disebutkan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sementara dalam Pasal 6 UU Perkawinan disebutkan, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Yohana menerangkan, pemerintah fokus untuk mengubah batas usia perkawinan.
“Lebih cenderung sekitar (usia) 20-an ke atas. 20 tahun untuk anak perempuan, 22 tahun untuk anak laki-laki,” jelasnya.
Di samping itu, imbuhnya, Kementerian PPPA terus berupaya menggalakkan program pencegahan pernikahan dini, di antaranya dengan sosialisasi, edukasi, dan pencerahan kepada keluarga di seluruh tanah air.
“Agar mereka bisa menyadari bahwa negara melindungi anak-anak. Hak anak untuk bersekolah, bermain, berkreasi dari umur 0 sampai 18 tahun harus dijaga,” sebutnya.
“Kami tetap akan tegas menunjukkan bahwa pemerintah tetap melindungi hak anak dan tidak membiarkan anak-anak untuk menikah di usia anak,” tutupnya. (put/ce1)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama