JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sanksi terhadap pelanggaran penyelenggaraan umrah maupun haji khusus kini semakin ketat. Tak sebatas sanksi administrasi seperti yang berlaku selama ini. Tapi, ada pemberlakuan sanksi denda hingga Rp110 juta untuk setiap pelanggaran.
Selama ini, aturan Kementerian Agama (Kemenag) untuk setiap pelanggaran umrah bersifat administrasi. Mulai teguran tertulis hingga pencabutan izin sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) maupun penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK). Kalaupun ada sanksi pidana, ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Aturan pengenaan denda terhadap pelanggaran umrah dan haji khusus merupakan turunan dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Kemenag bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai membahas denda itu pada, Rabu (10/11). Sayang, pertemuan tersebut buntu dan tak menghasilkan keputusan soal besaran denda.
Berdasar draf, denda terendah diusulkan untuk pelanggaran tidak menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada Menag secara tertulis sebelum keberangkatan. Denda pelanggaran itu dipatok Rp10 ribu per jamaah. Sementara itu, denda termahal yaitu gagal memberangkatkan jamaah haji. Dendanya mencapai Rp110 juta per jamaah.
Pelanggaran lainnya adalah tidak memberikan bimbingan dan pembinaan haji khusus. Dendanya Rp150 ribu per jamaah. Kemudian, tidak memberangkatkan penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing ibadah untuk haji khusus dikenai denda Rp350 ribu per rombongan.
Ketua Umum Sarikat Penyelenggaraan Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi menyatakan, rapat pada Rabu (10/11) belum menghasilkan keputusan apa pun. Rapat tersebut hanya memaparkan usulan jenis pelanggaran dan besaran dendanya.
Syam pun mengakui, selama ini tidak ada ketentuan denda bagi pelanggaran umrah. Nah, kini pemerintah menetapkan denda karena sudah diatur dalam UU Ciptaker. "Tapi, kami mohon pemerintah menunda dulu (pembahasan denda, red) sampai pandemi Covid-19 selesai," katanya, Sabtu (13/11).
Asosiasi travel umrah dan haji khusus berharap pembahasan denda dilakukan paling tidak setelah ada kepastian tanggal pemberangkatan umrah maupun haji. Jika sudah ada kepastian soal keberangkatan itu, lanjut Syam, asosiasi siap bertemu dalam satu meja dengan Kemenag dan Kemenkeu.
Menurut dia, saat ini momennya tidak tepat untuk membahas denda penyelenggaraan umrah dan haji yang nanti masuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak) Kemenag. Sebab, seluruh pemangku kebijakan, termasuk asosiasi travel, sedang fokus menyiapkan pembukaan umrah 1443 Hijriah di tengah pandemi.
Syam menambahkan, aturan soal denda itu diharapkan terpadu dan sesuai dengan Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) versi terbaru. Dia menegaskan, jika waktunya sudah tepat, asosiasi travel umrah dan haji khusus bersedia membahas denda tersebut secara detail. "Secara prinsip, karena sudah menjadi undang-undang, aturan mengenai denda PNBP ini harus dijalankan," ujarnya.
Namun, Syam menegaskan bahwa jenis pelanggaran dan besaran dendanya perlu ditinjau dan dikaji bersama. Juga dianalisis apakah denda itu masih relevan dengan pola penyelenggaraan umrah. Sebab, pandemi Covid-19 dan modernisasi yang diterapkan Pemerintah Arab Saudi memicu sejumlah perubahan teknis dan regulasi umrah serta haji.
Sementara itu, Kemenag belum menanggapi soal dimulainya pembahasan besaran denda tersebut. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief tidak merespons saat berkali-kali dihubungi. Begitu pula Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag Nur Arifin.
Di sisi lain, Kabid Umrah Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Zaki Zakaria menyampaikan, pihaknya masih menunggu dibukanya kembali pengurusan visa umrah. "Kenapa sampai sekarang belum buka? Karena ada hal teknis yang perlu diselesaikan pihak Indonesia," ucapnya.
Hal teknis itu, antara lain, connecting antara aplikasi PeduliLindungi milik pemerintah Indonesia dan aplikasi Tawakkalna milik Arab Saudi. Hingga kini, barcode vaksinasi Covid-19 Indonesia belum terbaca oleh sistem Arab Saudi. "Kemudian, Indonesia masih menunggu diterimanya vaksin Sinovac tanpa booster oleh Pemerintah Saudi," jelasnya.
Selama masih ada ketentuan booster bagi yang sudah divaksin Sinovac, kecil kemungkinan untuk bisa memberangkatkan umrah. Zaki mengatakan, jamaah sejatinya siap jika vaksin booster harus membayar sendiri.
Dia menekankan, umrah di tengah pandemi berbeda dengan situasi normal. Banyak pembatasan di Arab Saudi maupun Indonesia. Diperlukan edukasi efektif kepada jamaah. Dengan begitu, jamaah tetap bisa menjalankan ibadah umrah dengan aman dan nyaman. Zaki pun berharap posisi Indonesia sebagai ketua G20 saat ini bisa menjalankan diplomasi untuk urusan umrah.
Sementara itu, Menag Yaqut Cholil Qoumas menanggapi singkat soal persiapan dibukanya kembali penyelenggaraan umrah. Dia membenarkan akan datang ke Saudi untuk membahasnya. Namun, belum ada kepastian tanggal. "Masih menyesuaikan jadwal menteri di Saudi," tuturnya.(wan/c18/fal/jpg)