(RIAUPOS.CO) -- Robert Lai lagi di kapal pesiar 15 tingkat. Di atas laut Mediterania. Dari Athena ke Barcelona. Saya kirim padanya satu foto. Saat saya di lapangan golf St Andrews --satu jam perjalanan mobil dari Edinburgh. Saya test ia. Apakah ia ingat: di mana lokasi tempat saya berfoto itu. “I am so impressed with you aggression...more than me 35 years ago,” jawabnya.
Waktu itu umur Robert 35 tahun. Ia masih miskin. Pekerjaannya guru SD. Di Singapura. Anaknya tiga. Kecil-kecil. Gajinya hanya pas-pasan untuk hidup lima orang. Tapi Robert lulusan Inggris. Bidang hukum. Pergaulannya luas dan tinggi.
Suatu hari Robert diajak temannya ke lapangan golf. Yang terbaik di Singapura. Di situlah Robert bertemu tokoh besar Singapura. Ia selalu ingat pesan tokoh itu. Anak muda,” kata tokoh tersebut “Kalau kamu menghadapi persoalan berat prioritas utama yang harus kamu lakukan adalah keluarlah dulu dari persoalan itu”.
Belakangan Robert sering menasihati saya. “Lawanlah musuhmu dengan jurus yang paling ringan dulu. Kalau tidak bisa mengatasi pakai jurus yang lebih tinggi. Kalau juga tidak mengatasi pakailah jurus terakhir,” katanya.”Apa itu jurus terakhir?“ tanya saya.
“Jurus terakhir adalah jurus yang paling ampuh,” jawabnya. “Saya sudah tidak punya jurus lagi,” kilah saya. “Semua orang punya jurus terhebat. Cuma lupa menggunakannya,” katanya. “Apa itu?” “Lari!” katanya sambil terbahak-bahak.
Di lapangan golf Singapura itulah Robert tiba-tiba ditawari tokoh itu. Untuk menjadi manajer pengelola lapangan golf tersebut. Sang tokoh lagi pusing. Ia tidak puas. Lapangan golf itu kurang terkelola dengan baik. Robert kaget. Mengelola lapangan golf? Dari mana ilmunya? Tapi Robert tidak berani menolak. Itu tawaran yang sangat menggiurkan. “Saya mohon waktu satu bulan,” jawab Robert.
Pulang dari situ ia cari referensi tentang golf. Ketemulah: St Andrews. Itulah lapangan golf terhebat di dunia. Juga tertua. Ia pun bertekad belajar pengelolaan lapangan golf ke St Andrews. Ia nekad ke sana. Tanpa tahu akan bertemu siapa di sana. Ia siap dihinakan di St Andrew. Misalnya ditolak. Pun ia siap jadi pegawai magang paling rendah sekali pun. “Saya sadar, sebagai orang Asia mungkin sulit diterima di sana,” katanya.
Dengan kerendahan hatinya yang paling rendah Robert akhirnya diterima. Ia magang selama sebulan. Ia belajar amat keras. Sampai hafal warna daun rumput saat berumur tiga hari. Hafal juga kapan rumput harus dipotong. Kapan harus dipupuk. Kalau lagi bercerita soal magangnya itu, Robert sampai menititikkan air mata. Pun selama menunggu saya operasi di tahun 2006. Di RS Tianjin, Tiongkok. Robert sering menceritakan itu.
Enam bulan kami di rumah sakit itu. Robert-lah yang urus dokter, kebersihan kamar sampai mengepel sendiri toilet saya. Ia kurang percaya kebersihan apa pun --khas orang Singapura. Dari Robert-lah saya tahu banyak tentang golf. Majalah yang ia bawa selalu tentang golf. Suatu saat saya meminjam majalahnya itu. Ia kaget.
“Syukurlah. Anda sudah mulai tertarik golf,” katanya. Sambil menyerahkan majalah golf terbarunya.
“Bukan mulai tertarik,” jawab saya. “Dengan membaca majalah golf siapa tahu saya bisa cepat tidur”. Ia sewot. Lalu tertawa. “Sudah beberapa tahun saya selalu cerita mengenai golf pada Anda. Anda tidak mau juga main golf. Iman Anda ini teguh sekali,” katanya.Padahal cerita golfnya selalu menarik. Belum ada orang bisa bercerita mengenai asyiknya golf melebihi Robert Lai.
Golf itu, katanya, melebihi olahraga apa pun. “Anda kan suka sepakbola. Di seluruh dunia lapangan sepakbola itu sama,” katanya. Demikian juga tenis. Pingpong. Sebutlah apa saja selain golf. Semuanya sama. “Golf itu menarik. Tidak ada lapangan golf yang sama. Beda tempat, beda desain. Beda tantangan,” katanya.
“Ibarat Anda punya 100 pacar, tidak ada yang rasanya sama,” guraunya. Kegilaannya pada golf membuat saya punya topi golf. Setiap hilang, Robert menghadiahkan lagi yang lain. Waktu di Jepang saya disalami banyak orang. Gara gara topi itu. Saya pun ditanya: handicap saya berapa.
Suatu hari saya naik mobil dari Atlanta ke Columbia --kota terbesar di South Carolina, Amerika. Saya yang nyetir. John Mohn duduk di sebelah saya. Robert Lai dan istri duduk di belakang. Saya ingat Robert sering bercerita. Tentang kehebatan lapangan golf di Augusta. Yang kaya-raya saja tidak cukup bisa membuatnya ke sana.Robert pernah ke sana.
Waktu mau berangkat dari Atlanta kami mampir dulu ke gedung pusat CNN. Saya sempat lihat peta. Augusta ada di tengah antara Antlanta-Columbia. Tanpa setahu mereka, saya setting sendiri Google map. Dengan tujuan rahasia. Di perjalanan Robert tidur. Itu baik. Agar tidak terus bertengkar dengan John. Biasanya mereka bertengkar gara-gara bahasa. Sering John merasa tidak mengerti ucapan Robert --Inggris logat Inggris. Kecampuran logat Singapura. John selalu bicara Inggris logat Amerika.
John sebenarnya mengerti juga. Tapi ia ingin agar saya tidak ketularan Inggrisnya Robert. Saya harus hanya jadi muridnya John.Google map mengarahkan saya ke satu tempat. Saya berhenti di situ. John bertanya: mengapa berhenti di sini. Saya tidak menjawab.
Robert pun bangun. Ia bertanya: apakah kita sudah sampai Columbia? Saya tidak menjawab. “Hah? Di mana ini?” tanyanya sambil ucek-ucek mata. “Hahahaha... Ini Augusta! Mengapa saya tidak diberitahu sebelumnya,” katanya. Marah-marah-suka. “Haha... Tidak menyangka saya bisa ke Augusta lagi,” katanya.
Saya pun senang. Bisa menyenangkan hati Robert. Matanya langsung berbinar. Cerita golfnya pun tidak berhenti-berhenti di sisa perjalanan. Pun kali ini. Saat saya di Edinburgh ini. Saya tidak memberitahu Robert. Kalau saya akan ke St Andrews. Hanya mengiriminya satu foto tadi.
Saya memang lagi mendorong Robert untuk mau menulis buku. Tentang golf. Dengan titik berat pengalaman magangnya di St Andrew. Plus mengenai 100 lubang yang semua tidak sama itu. “Mulailah menulis,” kata saya. Saya tahu Robert Lai pandai menulis. Kata pengantar yang ia tulis di buku saya, Ganti Hati, tidak perlu ada yang saya koreksi. “Mulailah menulis sekarang,” kata saya. “Mumpung Anda lagi nganggur di kapal pesiar yang tidak ada lapangan golfnya,” tulis saya lewat WeChat-nya. Imannya juga teguh. Ia tetap belum mau menulis.***