Gempa Meningkat, Selat Sunda Aman

Nasional | Minggu, 13 Januari 2019 - 16:30 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO)- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan gempa beruntun yang terekam di Selat Sunda tidak mengakibatkan kenaikan permukaan air laut yang signifikan sebagai indikasi tsunami di kawasan tersebut.

Sebelumnya, terekam gempa Skala 5,0 Skala Richter (SR), dengan episenter sekitar 176 kilometer di barat daya Lampung. Gempa terjadi pada Sabtu malam sekitar pukul 19.00 WIB.

Baca Juga :Gempa Bumi Berkekuatan 7,5 SR Hantam Mindanao

Terkait potensi terjadinya kembali tsunami di Selat Sunda, Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhamad Sadly mengatakan hal tersebut masih ada. Ia menerangkan, sedikitnya terdapat tiga sumber tsunami di Selat Sunda, yakni Kompleks Gunung Anak Krakatau (GAK), Zona patahan Graben, dan Zona patahan Megathrust yang terdapat di Selat Sunda.

Sadly menjelaskan, Kompleks GAK terdiri dari Gunung Anak Krakatau, Pulau Sertung, Pulau Rakata dan Pulau Panjang. Gunung serta ketiga pulau tersebut tersusun dari batuan yang retak-retak secara sistemik akibat aktivitas vulkano-tektonik. ”Akibatnya, kompleks tersebut rentan mengalami runtuhan lereng batuan (longsor) ke dalam laut, dan berpotensi kembali membangkitkan tsunami,” kata Sadly, Sabtu (12/1).

Demikian juga  Zona Graben yang berada di sebelah Barat-Barat Daya Kompleks GAK, juga merupakan zona batuan rentan runtuhan lereng batuan (longsor) dan berpotensi memicu gelombang tsunami. Sementara itu Zona Megathrust termasuk pula sebagai wilayah yg berpotensi membangkitkan patahan naik pemicu tsunami.

“Atas dasar itulah hingga saat ini BMKG tetap memantau perkembangan kegempaan dan fluktuasi muka air laut di Selat Sunda. BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mewaspadai zona bahaya dengan radius 500 meter dari bibir pantai yang elevasi ketinggiannya kurang dari 5 meter,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa BMKG telah memasang beberapa alat pantau di sejumlah titik di Selat Sunda untuk memantau aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut. Sensor-sensor tersebut dipasang diantaranya di Pulau Sebesi, Ujung Kulon, dan Labuan.

Pulau Sebesi merupakan pulau terdekat dengan Kompleks GAK yg saat ini bisa dijangkau utk pemasangan alat. ”Pulau ini difungsikan sebagai buoy alam agar dapat memberikan rekonfirmasi lebih dini bahwa gelombang tsunami  terjadi,” kata Dwikorita.

Mantan Rektor UGM ini menuturkan, agar pemantauan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut lebih maksimal, BMKG memandang perlu untuk membangun BTS (Base Transceiver Station) khusus di sekitar GAK dan Ujung Kulon.

Selain itu, BMKG juga melakukan penambahan instrumentasi dan fasilitas untuk pemantauan muka air laut. Antara lain alat pengukur ketinggian pasang air laut Tide Gauge atau Sensor Water Level, Buoy, dan Radar Tsunami atau HF Radar.

Penambahan peralatan tersebut, kata Dwikorita untuk mempercepat pengiriman data hasil pengamatan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut yang terpantau. “Dengan begitu, kita memiliki lebih banyak waktu untuk meminimalisir jumlah korban akibat gempa maupun tsunami di wilayah pesisir Selat Sunda,” tuturnya. (tau/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook