PASAL PENGHINAAN LEMBAGA NEGARA BERLEBIHAN DAN RAWAN DISALAHGUNAKAN

Hina DPR, Polri dan Kejaksaan, Diancam 18 Bulan Penjara

Nasional | Jumat, 11 November 2022 - 10:32 WIB

Hina DPR, Polri dan Kejaksaan, Diancam 18 Bulan Penjara
Abdul Fickar Hadjar (ISTIMEWA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi polemik. Kali ini terkait dengan pasal penghinaan terhadap lembaga negara dan penguasa umum. Komisi III DPR RI mempersoalkannya dan meminta pasal tersebut diganti menjadi pasal fitnah.

Penghinaan terhadap lembaga negara dan penguasa umum tercantum dalam Pasal 347 draf RKUHP. Pasal 347  ayat (1) menyebutkan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan (18 bulan) atau pidana denda paling banyak kategori II. Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengatakan, pasal-pasal terkait penghinaan terhadap lembaga negara dan penguasa umum dalam RKUHP akan berpotensi menjadi masalah. "Apabila tidak diberikan batasan yang ketat," ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), Kamis (10/11).


Dalam rapat Komisi III dengan pemerintah pada 9 November lalu, dia menyampaikan masukan agar frasa "penghinaan" dibatasi menjadi "fitnah", yaitu tuduhan yang diketahuinya tidak benar. Dengan begitu, pembuktiannya bisa dilakukan dengan ukuran yang objektif.

Menurut Tobas, demikian Taufik Basari biasa disapa, apabila masih menggunakan frasa "penghinaan", maka ukurannya akan menjadi subjektif. "Sehingga dapat disalahgunakan untuk kepentingan penguasa yang antikritik," kata politikus Partai Nasdem itu.

Legislator asal Dapil Lampung itu mengatakan, pihaknya tidak ingin ada pasal-pasal dalam RKUHP yang berpotensi membahayakan kehidupan demokrasi. Atau, dapat menjadi alat bagi kekuasaan untuk menjadi otoriter dan anti-demokrasi.

Jika memang pasal-pasal itu tidak dapat dihapus, dia berharap dalam pembahasan pada 21 November pemerintah dan DPR dapat mengakomodasi masukan yang disampaikannya. Yaitu, untuk membatasi unsur pada pasal-pasal penghinaan terhadap lembaga negara dan kekuasaan umum itu dengan mengubah dari delik penghinaan menjadi delik fitnah. "Sehingga pembuktiannya akan lebih objektif dengan batas-batas yang ketat," tandasnya.

Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pasal penghinaan terhadap lembaga negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 349 ayat 1 RKUHP terlalu berlebihan. Sebab, pasal tersebut berpotensi membuat KUHP menjadi terdegradasi. "Kalau (kekuasaan atau lembaga negara) antikritik, lebih baik bubar saja," kata Fickar.

Dia menyebut KUHP mestinya berlaku secara umum. Dengan kata lain, KUHP bukan untuk mengakomodasi kepentingan perorangan atau lembaga-lembaga tertentu. Dalam draf RKUHP, lembaga-lembaga yang dimaksud dalam frasa kekuasaan umum atau lembaga negara, antara lain, DPR, DPRD, Polri, Kejaksaan RI, atau pemerintahan daerah (pemda). "DPR itu dari dulu, oknum-oknumnya antikritik," cetus Fickar.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menambahkan, masih masuknya pasal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP menandakan bahwa pemerintah dan tim perumus tidak mendengarkan masukan masyarakat sipil. "Janji pemerintah untuk dialog itu tidak terbukti," katanya.

Menurut Isnur, pasal penghinaan semacam itu jelas bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Juga menandakan bahwa paradigma pemerintah dan tim perumus RKUHP adalah melindungi kekuasaan sebagai subjek. "Dan itu berarti dalam benak mereka (pemerintah) adalah anti-demokrasi," ujarnya.

Isnur menjelaskan, pasal-pasal tersebut sangat tidak layak diterapkan pada negara demokrasi dan menjunjung kehidupan kebangsaan yang bebas. Karena itu, dia berharap pasal tersebut harus dikaji. Pemerintah harus mendengarkan dan memperhatikan masukan masyarakat sipil dan anggota DPR yang menolak keberadaan pasal-pasal tersebut dalam RKUHP.

Peneliti Haris Azhar Law Office, Fian Alaydrus menambahkan, masuknya pasal penghinaan itu secara tidak langsung meminta masyarakat sipil untuk selalu menghormati kekuasaan. Fian khawatir, pasal penghinaan itu bisa digunakan lembaga negara atau kekuasaan untuk memenjarakan para pengkritik yang dianggap menghina. "Padahal, kritik masyarakat secara kasar itu umumnya akibat dari lembaga negara yang sudah keterlaluan menyelewengkan tugasnya," ujarnya.

Menurut Fian, kritik masyarakat secara kasar merupakan wujud kritik agar lembaga negara atau kekuasaan bekerja dengan baik.

"Warga tidak akan menghina kalau penguasa bekerja dengan baik," imbuhnya. (lum/tyo/fal/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook