GERAKAN "Republik" seperti mati suri. Di Inggris. Wibawa, kebaikan, dan reputasi Ratu Elizabeth membuat minat menjadi republik seperti ditelan bumi.
Tidak akan selamanya. Terutama setelah Sang Ratu meninggal dunia Kamis sore lalu.
“Selangkah lagi Inggris akan menjadi republik,” ujar aktivis antikerajaan di sana: Graham Smith.
Ia mengakui gerakan republik kalah angin selama Elizabeth menjadi ratu. Rakyat begitu cinta dia. “Tapi sikap rakyat akan berubah di tangan raja baru,” ujarnya. “Mungkin kerajaan Inggris akan berakhir tidak lama lagi. Tepat di saat umurnya 1000 tahun,” tambahnya.
Gerakan republik segera memulai kampanye. Lewat medsos dan baliho. Memang jalan menuju penghapusan kerajaan tidak ada. Konstitusi Inggris sama sekali tidak memberi peluang untuk perubahan. Tata cara untuk berubah saja tidak ada.
Tapi aktivis republik tidak menyerah. Target mereka adalah referendum. Minta pendapat langsung rakyat. Waktunya belum bisa dipatok tapi akan tiba. “Anak muda sekarang kan sudah tidak punya rasa terikat dengan kerajaan,” katanya.
Tentu bisa saja Raja Charles kian mendapat simpati. Pidato pertamanya sangat bagus. Dunia mengakui. Juga Pak Mirza, komentator Disway.
Dalam pidato itu Raja Charles mulai menyebut nama Pangeran Harry, anak keduanya dari almarhumah Lady Di.
Charles mengatakan mencintai Harry, meski pun ia kini hidup di luar negeri, bersama istrinya. Sang istri bukan saja warga Amerika tapi juga punya ibu wanita kulit hitam.
Ucapan Raja Charles itu seperti titik balik. Harry yang sudah meninggalkan tugas kedinasan kerajaan –menjadi orang Amerika– seperti ingin dirangkul kembali.
Sejak Harry memilih wanita Amerika daripada takhta, ia memang sudah seperti ‘’orang luar’’. Harry sebenarnya sangat disayang Ratu Elizabeth, neneknya. Berbagai peristiwa menunjukkan kedekatan itu –melebihi kepada cucu yang lain.
Anak kedua Harry diberi nama Lilibet. Itu menandakan betapa Harry juga sangat mencintai neneknya, sang Ratu. Nama Lilibet adalah nama kecil sang Ratu. Nama itu diberikan karena Elizabeth-kecil sulit mengucapkan namanyi yang sebenarnya. Dan kini nama itu abadi menjadi nama anak kedua Harry-Meghan.
Tapi sebagai ‘’orang luar’’ Harry tetap tidak bisa ikut dalam rombongan keluarga. Yakni ketika mereka naik pesawat angkatan udara menuju Istana Balmoral. Pagi itu, Kami pagi lalu, Ratu dikabarkan dalam keadaan kritis. Keluarga kerajaan harus segera ke Balmoral. Pangeran Charles, istri, dan adiknya pun meninggalkan London. Dengan pesawat AU. Menuju Balmoral di Skotlandia. Di sana mereka menunggui detik-detik akhir kematian sang Ratu.
Sebagai cucu yang paling dicintai, entah bagaimana, hari itu Harry kok sedang berada di Inggris. Ia juga tahu kondisi sang nenek yang lagi kritis. Ia mencari pesawat sendiri. Yakni pesawat swasta yang bisa dicarter. Ia tidak berhak lagi minta bantuan angkatan udara.
Ketika Harry sampai di Balmoral, Ratu telah pergi. Malam itu ia di sana. Tapi pagi-pagi Harry harus kembali ke London. Ia merasa tidak pada tempatnya kalau terlihat bersama keluarga kerajaan di samping jenazah sang Ratu.
Di bandara Aberdeen, dekat Balmoral, Harry terkena jepretan kamera. Rupanya ada wartawan yang mengincarnya ke mana pun ia pergi. Di bandara itu, saat akan menuju pesawat, Harry terlihat memegang pundak petugas bandara. Agak lama. Ia mengucapkan terima kasih karena si petugas menyampaikan belasungkawa pada Harry. Kecintaan rakyat pada Harry terlihat sangat tinggi. Sikap pribadi Harry kelihatannya sudah sangat Amerika. Tidak terlihat lagi feodalnya.
Tentu yang pertama akan menjadi pewaris kerajaan berikutnya adalah Pangeran William, kakak Harry. William juga tidak kalah dicintai. Bahkan banyak yang berharap Charles tidak perlu naik takhta. Langsung saja ke William.
Tentu tidak bisa. Charles sudah lama antre. Baru di umur 73 tahun ia berhasil menjadi raja.
Yang jelas, status Harry kini tetap naik: menjadi pangeran. Bisa-bisa ia juga menjadi raja bila mana ada takdir –sang kakak berhalangan tetap. Bahkan dua anak Harry-Meghan pun bisa punya nasib menuju takhta.
Ratu telah meninggal dunia. Hiduplah sang raja. Selamanya.
Tentu kalau Kerajaan Inggris akan tetap ada. Sistem itu sudah terbukti sakti. Selama hampir 1.000 tahun. Kerajaan yang tanpa mengesampingkan esensi demokrasi. Termasuk mampu menyejahterakan rakyatnya dan memajukan negaranya.
Selama hampir 1.000 tahun hanya sekali sistem Kerajaan Inggris itu berhenti. Sebentar. Selama sekitar 20 tahun. Yakni di tahun 1649 –-saat di Indonesia Sultan Agung dari Mataram baru saja meninggal.
Tahun itu raja Inggris adalah Charles I. Waktu itu Raja Charles I menaikkan pajak. Tanpa minta izin parlemen. Parlemen marah. Raja membalas: membubarkan parlemen.
Yang dibubarkan tidak mau. Bahkan menganggap raja telah berkhianat kepada negara. Raja harus diadili sebagai pengkhianat. Bisa dijatuhi hukuman mati.
Zaman itu terjadi perdebatan hukum tata negara yang seru. Melebihi perdebatan hukum masa jabatan tiga periode.
Raja berdalih “kekuasaan raja datang dari Tuhan”. Tidak selayaknya parlemen membatasi. Parlemen berdalih: yang pemberian Tuhan itu adalah kerajaan, bukan rajanya.
Raja pun diadili. Tiga hari lamanya. Di hari ketiga hukuman dijatuhkan: Raja Charles I harus dihukum mati. Yakni dengan cara digantung. Itulah hukuman bagi seorang pengkhianat negara.
Jadwal hukuman itu dilaksanakan tanggal 30 Januari 1649. Hari Selasa. Sehari sebelumnya ia diberi kesempatan menemui dua orang anaknya. Ia hanya minta dibawakan baju. Hari itu dingin sekali. Puncak musim dingin di Eropa.
Kini Charles III menjadi Raja. Tidak mudah. Zaman berubah kian cepat. Ia dihadapkan pada tantangan melestarikan sistem kerajaan yang hampir 1.000 tahun.***