(RIAUPOS.CO) -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) membolehkan daging kurban diawetkan dan dikirim ke warga dalam bentuk olahan. Fatwa ini terkait pengawetan dan pendistribusian daging kurban dalam bentuk olahan ini tertuang dalam fatwa Nomor: 37 Tahun 2019 yang telah disahkan pada 7 Agustus 2019. Draftnya telah ditandangani langsung oleh Ketua Umum MUI, Ma’ruf Amin dan Sekjen MUI Anwar Abbas.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid mengatakan, pengawetan dan pengolahan daging kurban tidak bisa dilakukan sembarangan. Langkah itu dibolehkan apabila tidak ada kebutuhan mendesak. Seperti seluruh warga yang berada di lokasi hewan disembelih seluruhnya telah mendapat daging. Alasan lainnya, tidak ada warga yang kelaparan saat Iduladha.
"Menyimpan sebagian daging kurban yang telah diolah dan diawetkan dalam waktu tertentu untuk pemanfaatan dan pendistribusian kepada yang lebih membutuhkan adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak ada kebutuhan mendesak,” ujar Zainut kepada JawaPos.com, Sabtu (10/8).
Adapun tiga dasar pertimbangan yang harus dipenuhi dalam pengawetan dan penyaluran daging kurban dalam bentuk olahan. Pertama, harus bertujuan untuk kebaikan umat.
“Didistribusikan secara tunda (ala al-tarakhi) untuk lebih memperluas nilai maslahat,” kata Zainut.
Syarat kedua, yakni diawetkan dan diolah dalam bentuk seperti makanan kaleng, bisa berupa kornet, rendang dan sejenisnya. Syarat terakhir yakni daging kurban didistribukan ke luar daerah yang jauh. Sehingga apabila tidak diawetkan dikhawatirkan daging akan rusak.
"Didistribusikan ke daerah di luar lokasi penyembelihan," tegas Zainut.
Meski begitu, pada prinsipnya hewan kurban disunnahkan untuk didistribusikan segera setelah disembelih. Kemudian dibagikan dalam bentuk daging mentah. Serta didistribusikan untuk memenuhi hajat orang yang membutuhkan di daerah terdekat.
Sumber : JawaPos.com
Editor : Firman Agus