JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Mayjen TNI Dr dr Terawan Agus Putranto SpRad untuk sementara bisa bernapas lega. Sebab Penguru Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menunda melaksanakan putusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Putusan dari MKEK adalah rekomendasi pemecatan sementara Terawan sebagai anggota IDI.
Sebagaimana diketahui rekomendasi pemecatan Terawan dari anggota IDI itu adalah hasil dari Sidang Kemahkamahan Etik. Putusan dalam sidang itu adalah Terawan dijatuhi sanksi pemecatan sementara sebagai anggota dari IDI selama 12 bulan. Terhitung mulai 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019.
Sanksi itu diambil karena Terawan dinyatakan bobot pelanggaran etiknya berat (serious ethical misconduct). Terawan sendiri menjadi anggota IDI dengan nomor pokok anggota (NPA) 28.351.
Nah eksekutor dari rekomendasi MKEK itu adalah PB IDI. Dalam paparan resminya di Jakarta, Senin (9/4), Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan PB IDI menunda melaksanakan putusan MKEK karena keadaan tertentu.
’’Oleh karenanya ditegaskan bahwa hingga saat ini Dr TAP (Terawan Agus Putranto, red) masih berstatus sebagai anggota IDI,’’ kata Marsis.
Sampai kapan nasib Terawan itu ’’digantung’’ seperti itu? Maris tidak bisa memastikannya. ’’Penundaan bisa berakhir pembebasan dari tuntutan (MKEK, red). Tapi bisa juga melaksanakan rekomendasi MKEK,’’ tuturnya.
Dalam rapat majelis pusat (MPP) PB IDI, Jumat (6/4) direkomendasikan IDI menunggu hasil penilaian tindakan terapi dengan metode digital subtraction angiogram (DSA) atau dikenal dengan sebutan brain wash Terawan oleh tim Health Technology Assessment (HTA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Marsis lantas menjelaskan soal layanan brain wash atau cuci otak oleh dokter Terawan itu. Ada informasi bahwa pasien terapi itu sudah mencapai 40 ribu orang. Dia mengatakan dari sekian ribu orang itu, ada yang sukses dan ada yang tidak. Dia berharap publik menilai secara fair. Bahwa layanan yang dilakukan Terawan itu ada tidak suksesnya juga.
Selain itu Marsis juga menjelaskan terapi yang dilakukan Terawan itu memang sudah lolos dari uji akademis. Dia menjelaskan terapi dokter Terawan yang disebut mampu membuka sumbatan-sumbatan kronik di pembuluh darah bagi penderita stroke, memang sudah diuji secara akademis. Di antaranya bisa mengantarkan Terawan meraih gelar doktor di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
’’Tapi jangan lupa, apakah bisa diterapkan di masyarakat? Ini yang namanya harus melalui uji klinik,’’ jelasnya.
Nah, menurut Marsis Terawan baru selesai di tahap pertama, yakni uji akademis saja. Sementara untuk uji klinik belum dilakukan. Nah untuk uji klinik itu menurut Marsis, bukan domain dari IDI untuk mengerjakannya. Melainkan tugas dari HTA di Kemenkes. Dia mengatakan HTA adalah sebuah badan permanen di Kemenkes yang bertugas untuk menilai layanan kesehatan.
’’Kalau Kemenkes belum menetapkan standar pelayanan, secara praktik belum boleh dilakukan. Harus ada uji klinik lanjutan, baru bisa dipraktikkan,’’ urainya.
Marsis juga menyesalkan terjadinya kebocoran informasi surat MKEK yang berisi rekomendasi pemecatan untuk Terawan. Dia menjelaskan sifat surat dari MKEK itu sejatinya adalah rahasia dan bersifat internal. Marsis menduga ada yang sengaja membocorkan surat itu ke publik.(wan/far/jpg)