(RIAUPOS.CO) - Tidak sakit apa-apa, juga tidak ada tanda apa-apa. Usianya memang sudah 79 tahun. Tapi tidak ada yang menyangka pendeta Abraham Alex Tanusaputra segera meninggal dunia. Kamis malam (6/8). Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Kristen Kembang Kuning Surabaya Sabtu (8/8).
Berarti pendeta Alex meninggal hanya selisih dua pecan dari meninggalnya pendeta Leonard Limato (DI’s Way edisi 28 Juli 2020). Dua pendeta besar Gereja Bethany ini bertengkar tidak berkesudahan. Saling pecat. Saling gugat ke pengadilan. Saling lapor polisi. Bertahun-tahun.
Pertengkaran sesama pendeta sama sekali tidak baru. Tapi pertengkaran di Bethany ini sangatlah seru. Juga paling panjang. Kini pertengkaran itu selesai. Dua pekan lalu, ketika pendeta Leonard meninggal dunia, saya sudah mengatakan sengketa itu pada akhirnya berakhir.
Dan hari ini sengketa itu selesai dengan tuntas. Asal, mereka tidak meneruskannya di alam kubur. Saya melayat kemarin pagi. Saya hampir saja melayat ke Gereja Bethany Jalan Manyar. Jumat sore lalu. Saya pikir jenazah beliau pasti disemayamkan di situ. Itulah gereja pertama yang beliau dirikan. Yang kemudian menjadi gereja yang sangat besar.
Saya tahu jenazah pendeta Alex tidak mungkin disemayamkan di gereja yang lebih besar lagi: Gereja Bethany Nginden. Yang sangat ikonik itu. Yang idenya juga dari pendeta Alex. Tahun lalu, ketika istri pendeta Alex meninggal dunia, jenazah sang istri disemayamkan di gereja Jalan Manyar. Berarti pendeta Alex pun akan dihormati di situ. Untuk kali yang terakhir.
Ternyata saya mendapat kabar yang sangat berbeda. Sepanjang hari Jumat itu jenazah pendeta Alex masih disimpan di lemari es. Tidak bisa dilayat. Lemari es itu terletak di Adi Jasa, Jalan Demak. Yakni tempat persemayaman umum. Biasanya, kalau ada keluarga Tionghoa meninggal dunia, jenazah mereka ditempatkan di situ. Ke Adi Jasalah teman-teman melayat.
Adi Jasa itu sangat besar. Kapasitasnya lebih dari 100 jenazah. Saya pernah, sekali melayat untuk tiga tempat. Hanya beda kapling: ada tiga teman meninggal dunia.
Saya setengah tidak percaya pendeta Alex juga disemayamkan di Adi Jasa. Tapi begitulah pengumuman resminya. Maka saya pun ke Adi Jasa. Bersama pendeta Yusuf Mulyanto yang pernah sekolah teologi di Bethany Jalan Manyar.
“Sebenarnya kami memang ingin beliau disemayamkan di gereja Jalan Manyar. Tapi tidak diizinkan,” ujar seorang keluarga pendeta Alex di situ.
Saya pun menunduk. Agak lama. Tanpa dijelaskan pun saya tahu kenapa. Rupanya ada masalah yang belum tuntas. Bukan dengan pendeta Leonard, tapi dengan anak kandung pendeta Alex sendiri: Aswin Tanusaputra.
Keseluruhan Gereja Bethany itu kini memang sudah di tangan Aswin. Sudah lebih dari 7 tahun. Termasuk gereja Jalan Manyar. “Apakah Aswin nanti melayat ke sini?” tanya saya. “Tidak akan,” jawab kerabat itu.
Saya kembali menunduk. Lebih lama. Dalam hati saya berkata: pun hubungan ayah dan anak sudah demikian retaknya. Memang, setelah bersengketa dengan pendeta Leonard itu, pendeta Alex juga tidak mendapatkan apa pun yang diinginkan: keseluruhan Gereja Bethany itu. Yang nilai asetnya sudah terbilang triliun rupiah.
Aswinlah yang kemudian tampil sebagai pihak yang di tengah. Sekaligus menguasainya secara permanen. Ayah-anak ini juga saling gugat ke pengadilan. Juga saling lapor ke polisi. Tapi legalitas sudah berada di tangan Aswin. Aswin pun belum sepenuhnya merasa aman. Sinode Bethany masih terus mempersoalkan eksistensi Aswin. Banyak jemaat yang menginginkan agar Gereja Bethany dikembalikan menjadi milik umat.
Aswin pun mengambil jalan yang tidak terpikirkan oleh siapa pun: Gereja Bethany keluar dari Sinode Bethany! Gereja-gereja Bethany pun lantas masuk ke Sinode Gereja Suara Kebenaran Injil (GSKI). Dengan langkah itu dimaksudkan: Sinode Bethany tidak bisa lagi mempersoalkan gereja-gereja Bethany. Sudah tidak ada hubungan.
Kalau Aswin tidak mengurus jenazah bapaknya, siapa tuan rumah di acara penghormatan terakhir di Adi Jasa itu? Hanna. Hanna Asti Tanusaputra. Dia putri sulung Alex. Yang sudah lebih banyak tinggal di Makassar atau Malang. Sang putri juga sudah lama keluar dari Bethany. Dia mendirikan gereja sendiri: Gereja YHS. Yang sangat besar di Makassar dan Malang.
Waktu saya tiba di Adi Jasa, jenazah pendeta Alex masih belum tiba. Masih dalam proses dikeluarkan dari lemari es. Lalu masih akan disiapkan pakaiannya. Setelah itu baru dimasukkan peti. Ternyata kebaktiannya bukan pukul 08.00 seperti yang saya kira. Pukul 09.00 baru akan dimulai. Saya pun memberikan penghormatan di depan foto beliau. Lalu pamit, harus segera memimpin Zoominar dengan Chairwoman Wardah, Dr Nurhayati.
Bunga duka cita sangat banyak di depan kapling untuk jenazah pendeta Alex ini. Jemaat Gereja YHS –Yakin Harus Sukses– sudah berdatangan. Merekalah yang akan menjadi inti kebaktian kemarin pagi.
Pendeta Hanna sendiri kini sudah sangat sehat. Setelah dua kali menjalani operasi kanker usus. Anak-anaknya, semuanya pendeta. Mereka merasa sang mama mendapat mukjizat besar. Kanker itu sudah stadium empat. Operasinya pun harus dua kali.
Pekan lalu pendeta Alex masih memberikan khotbah di Jakarta. Belakangan beliau memang lebih sering lama tinggal di Jakarta. Beliau tidak mendirikan gereja baru, tapi membangun komunitas sendiri. Istilahnya: membangun ministry sendiri.
Di ministry itulah eksistensi baru pendeta Alex. Masih begitu sering pendeta Alex diminta khotbah di mana-mana. Beliau memang terkenal sangat kharismatik. “Saya sering menangis kalau mendengar khotbah beliau,” ujar pendeta Mulyanto.
Di Bethany, lama memang ada trio macan yang sama-sama hebatnya: pendeta Alex, pendeta Nico, dan pendeta Timothius Arifin. Tiga orang itulah yang bisa dibilang ruh-nya Bethany. Sedang pendeta Leonard adalah administratornya.
Pendeta Nico sudah mendirikan gereja sendiri di Jakarta. Sangat besar. Pendeta Timothius mendirikan gereja sendiri di Bali. Juga sangat besar. Dan pendeta Leonard mendirikan gereja sendiri di Surabaya.
Pendeta Nico dan Timothius adalah dua kader terhebat pendeta Alex. Satu dikirim ke barat Indonesia. Satunya lagi dikirim ke timur Indonesia. Dua-duanya sukses. Justru pendeta Alex sendiri yang harus menghadapi badai. Sampai akhir hayatnya.(*)