JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kasus dugaan perdagangan orang dan perbudakan kapal Cina Longxing ditangani serius. Bareskrim dipastikan turun tangan untuk menyelidiki dugaan pidana dalam kasus tersebut. 14 WNI anak buah kapal (ABK) Kapal Longxing 629 bakal diperiksa setelah tiba di Indonesia, kemarin.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo menjelaskan, 14 ABK tersebut telah diterbangkan dari Korea menuju Indonesia. Mereka tiba Jumat sore. "Setelahnya mereka dikarantina 14 hari sesuai ketentuan," paparnya.
Dalam masa karantina itu, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap ABK secara virtual. Sehingga, dapat mengetahui bagaimana terjadinya kasus tersebut. "Ini ditangani Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),"jelasnya.
Yang didalami terkait dugaan terjadinya perbudakan atau perdagangan orang. Serta, kemungkinan pidana lainnya. "Kita periksa dulu 14 ABK ini," paparnya dihubungi, kemarin (8/5).
Selain itu, juga terdapat laporan terhadap kasus tersebut dari pengacara Ricky Margono. Menurutnya, laporan tersebut dilakukan selaku warga yang mengetahui dugaan pidana tersebut. "Sebenarnya pengacara publik di Korea menghubungi kami," paparnya.
Untuk meminta masukan terkait kasus tersebut. Setelahnya, pengacara publik Korea itu memberikan salinan perjanjian kerja laut (PKL) Kapal Long Xing. "Saat dipelajari ternyata PKL ini melanggar UU 21/2007 tentang TPPO," terangnya.
Dalam PKL itu juga terdapat sejumlah dugaan pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/2016, di antaranya dari gaji 300 dolar AS per bulan, 100 dolar AS disimpan pemilik kapal, lalu ada pembayaran 800 dolar AS yang dibayarkan pekerja ke agen perekrut, ada pula 600 dolar AS ditanggung pekerja menggantikan biaya dokumen dan denda 1.600 dolar AS bila berhenti kerja. "Bahkan bila pindah kapal denda 5.000 dolar AS. Semua ditanggung dari upah pekerja," tuturnya.
Dia meminta penyelidikan segera dilakukan. Sehingga, pelaku pidana bisa segera bertanggung jawab. "Agar WNI yang menjadi ABK tidak diperlakukan semena-mena," terangnya.
Charles Honoris, anggota Komisi I DPR mengatakan, Pemerintah Indonesia harus mendesak Pemerintah Cina untuk menerapkan standar perlindungan pekerja dan perlindungan HAM sesuai standar universal. "Pemerintah Cina harus mengusut tuntas dan menjatuhkan sanksi hukum pada perusahaan pemilik kapal dan memberantas praktik-praktik serupa," terang dia.
Politikus PDIP itu menuturkan, Pemerintah Indonesia juga bisa mengangkat kasus pelanggaran HAM itu ke forum multilateral. Baik di Dewan HAM PBB maupun di Organisasi Buruh Internasional (ILO). Posisi Indonesia yang saat ini duduk sebagai anggota Dewan HAM PBB dan anggota ILO perlu dimanfaatkan untuk mendorong penegakan HAM secara progesif serta penghapusan segala macam bentuk perbudakan yang menjadi musuh kemanusiaan.
Selain itu, pemerintah hendaknya melakukan moratorium pengiriman buruh migran Indonesia ke negara-negara yang tidak menghormati HAM dan tidak menerapkan regulasi yang melindungi hak-hak para pekerja. "Hal ini demi memastikan perlindungan terhadap WNI di luar negeri," papar dia.
Anggota Komisi I DPR Muhammad Iqbal mendesak Kementerian Luar Negeri untuk segera memulangkan 14 ABK Indonesia dan meminta pemilik kapal untuk memenuhi hak-hak mereka yang terabaikan. Kemenlu juga harus segera memanggil Dubes Cina untuk meminta penjelasan alasan pelarungan jenazah ABK Indonesia, serta praktik kerja dan perlakuan tidak manusiawi.
Menurut dia, apa yang terjadi kepada para ABK itu merupakan praktik perbudakan, yang bukan tidak mungkin masih banyak ABK lain mengalami hal yang sama. Maka, pihaknya meminta agar pemerintah menjadikan tragedi kemanusiaan tersebut sebagai momentum untuk mendata kembali semua pekerja migran di luar negeri, khususnya mereka yang bekerja di kapal agar kejadian itu tidak terulang.
DPR juga meminta pemerintah untuk membantu agar hak santunan kematian dapat diterima oleh ahli waris atau keluarga almarhum sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7/2000 Tentang Kepelautan. Pada Pasal 31 ayat 2 dijelaskan bahwa jika awak kapal meninggal dunia, maka pengusaha angkutan perairan wajib membayar santunan. "Hak-hak ABK asal Indonesia yang lain juga harus dipenuhi oleh perusahaan yang mempekerjakan mereka," tegas politikus PPP itu.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga terlibat dalam pendampingan pemulangan ABK Long Xing kemarin. Hingga berita ini ditulis, tim LPSK masih melakukan studi lapangan untuk perencanaan langkah pendampingan hukum yang akan dilakukan.
Kasus kali ini terjadi di teritori negara lain dan kapal tempat ABK bekerja juga milik asing. Untuk itu, LPSK perlu melakukan pemetaan lebih cermat agar langkah hukum yang diambil dapat mencakup kedua belah pihak.
"Saat ini tim masih di lapangan," jelas Kasubag Humas LPSK Fakhur Haqiqi dikonfirmasi kemarin malam. Sebelumnya, LPSK pernah menangani kasus serupa yang terjadi di perairan Benjina, Maluku, pada 2015.
Kasus perbudakan di perairan itu melibatkan tenaga kerja dari berbagai negara, bukan hanya Indonesia. Dalam kasus semacam ini, LPSK akan memastikan perlindungan bagi ABK yang menjadi korban sekaligus saksi.
Antara lain perlindungan fisik, bantuan medis apabila diperlukan, rehabitilasi psikologi, dan fasilitasi restitusi. LPSK mengacu pada ratifikasi PBB dalam UU 5/2009 yang mewajibkan negara memberi perlindungan terhadap saksi dan korban.(idr/lum/deb/mia/jpg)