Dampak Kenaikan Cukai, Industri Rokok Perlu Insentif

Nasional | Selasa, 08 November 2022 - 11:06 WIB

Dampak Kenaikan Cukai, Industri Rokok Perlu Insentif
GRAFIK (DOK.RIAUPOS CO)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menyatakan bahwa kebijakan itu berpotensi memberatkan industri rokok yang bersifat padat karya atau mempekerjakan banyak orang.

Kadin berharap pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dapat memberikan bantuan berupa insentif kepada pengusaha. "Ini memang berat. Makanya, saya mengatakan bahwa industri padat karya mengharapkan sekali pemerintah bisa memberikan insentif-insentif khusus," ujarnya.


Arsjad mengingatkan, tahun depan banyak tantangan yang dihadapi padat karya. Termasuk kenaikan upah minimum regional (UMR) di tengah daya beli yang turun. Belum lagi kenaikan tarif cukai rokok.

Selain itu, Arsjad menjelaskan bahwa kenaikan tarif cukai rokok sebesar 10 persen dalam dua tahun mendatang berpengaruh pada tren penjualan perusahaan rokok. "Hal ini juga ditambah kecenderungan masyarakat untuk menabung di tengah ancaman resesi ekonomi global pada tahun depan," katanya.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) berpotensi memberatkan situasi ekonomi. "Tentu saja berat dari segi situasi dengan kondisi sekarang. Apalagi, tahun depan lebih berat," ungkapnya.

Menurut Shinta, kenaikan tarif cukai rokok bersinggungan dengan konsumen di level menengah ke bawah. Ada potensi penurunan volume penjualan.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menuturkan, penetapan kebijakan cukai rokok selalu mempertimbangkan empat aspek penting. "Ini selalu kita coba balance setiap kita membicarakan kebijakan cukai rokok. Ini adalah basic filosofi dari penetapan kebijakan cukai rokok setiap tahun," jelas Wamenkeu di Jakarta akhir pekan lalu.

Aspek pertama adalah pengendalian konsumsi yang memiliki kaitan dengan kesehatan. Kedua, aspek produksi yang berkaitan dengan keberlangsungan tenaga kerja, petani tembakau, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.

Aspek ketiga, terkait dengan penerimaan negara. Kebijakan cukai mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Pada 2021, penerimaan dari cukai mencapai Rp188,8 triliun. Aspek keempat adalah pengawasan barang kena cukai (BKC) ilegal. Semakin tinggi cukai rokok, akan semakin besar kemungkinan beredarnya rokok ilegal. ”Rokok ilegal atau hasil tembakau ilegal itu dari segala macam,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menyatakan bahwa potensi bisnis rokok elektrik terus berkembang. Sampai saat ini, terdapat 2,2 juta pengguna hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), termasuk rokok elektrik. Jumlahnya bertambah sekitar 40 persen dari total pengguna tahun lalu.

"Dengan perkembangan yang pesat tersebut, tentunya pemerintah perlu memberi perhatian yang lebih," tuturnya. (dee/agf/c14/dio/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook