(RIAUPOS.CO) - Musuh demonstran Hongkong tambah satu lagi: stasiun kereta bawah tanah. Yang di sana disebut MRT. “MRT ini sudah ketularan komunis,” teriak demonstran. Penyebab kemarahan itu: kereta tidak mau berhenti di stasiun tertentu. Yang lagi jadi pusat demo. Yang diwarnai bentrokan. Banyak fasilitas stasiun yang rusak. Termasuk kaca ruang kontrol. Ulah sebagian pendemo itu dianggap membahayakan keselamatan umum.
Puncaknya dua hari lalu: seorang pegawai MTR terluka. Harus masuk rumah sakit. Kian banyak stasiun yang ditutup. Posisi MRT sering terjepit. Awalnya MRT sangat disenangi pendemo. Malam itu, tiga bulan lalu, MRT sampai mengadakan kereta tambahan. Untuk mengangkut pendemo kembali ke rumah masing-masing.
Waktu itu malam sudah larut. Biasanya kian larut kian jarang MRT lewat. Penumpang kian sedikit. Tapi demo malam itu berlangsung sampai tengah malam. Jumlah pendemo pun sangat besar. Kebijakan MRT itu dikecam pemerintah Tiongkok. MRT dianggap tidak profesional. Kan demo itu ilegal. Tidak diizinkan polisi. Kalau pun ada izin hanya boleh sampai jam 21.00. Mengapa MRT mendukung demo yang melanggar hukum.
Sejak itu tidak pernah ada MTR tambahan. Pendemo pun balik tidak simpati pada MRT. Di Hongkong MRT itu sudah sangat vital. Melebihi angkutan umum apa pun. Di Hongkong-lah MRT bisa berlaba. Tanpa subsidi sama sekali. Kebijakan pemerintah sangat terintegrasi. Perumahan (flat) dan pusat perbelanjaan harus di dekat stasiun MRT.
Kita harus belajar mengintegrasikannya seperti itu. Tapi, perumahan murah kita, sudah terlanjur jauh-jauh. Waktu membangunnya tidak ada pikiran integrasi itu. Akibatnya biaya transportasi menjadi mahal. Untuk ke tempat kerja tidak bisa hanya mengandalkan kereta komuter yang murah.
Masing-masing orang lantas mengambil putusan sendiri-sendiri: membeli sepeda motor. Atau mobil cicilan. Jalan raya pun macet. Kunci sukses MRT di Hongkong adalah terintegrasinya pemukiman dan stasiun MRT. Tapi dengan demo yang kian keras sekarang ini semua itu jadi susah. Termasuk yang sudah terlanjur tergantung pada MRT. Kian banyak stasiun yang ditutup.
Jumat lalu, stasiun Prince Edward pun ditutup. Ratusan orang mendemo MRT itu. Tuntutannya: minta rekaman CCTV atas demo tanggal 31 Agustus. Mereka berasumsi polisi berlebihan dalam menangani demo hari itu. Tentu permintaan ditolak. Ada aturan yang harus ditaati MTR: rekaman CCTV hanya boleh diberikan kepada yang berwajib. Pihak lain tentu boleh juga. Asal ada perintah pengadilan.
Maka, menurut hukum, seharusnya mereka menggugat lewat pengadilan. Gagal memperoleh rekaman, mereka mengamuk. Mesin karcis jadi sasaran. Demikian juga pintu masuk. Pemimpin tertinggi Hongkong akhirnya memang mencabut total pengajuan RUU ekstradisi. Itulah urutan satu dari lima tuntutan pendemo. Sebenarnya itu pun hanya seperti membunuh mayat.
RUU itu sudah dibekukan di DPR. Juga sudah dinyatakan mati. Tapi pendemo minta itu tidak cukup. Harus secara resmi dicabut. Puaskah pendemo? Sudah saya duga: itu dianggap tidak ada artinya. Mereka minta, lima tuntutan itu sebagai satu kesatuan. Kemarin, dan hari ini, mereka tetap bergerak. Sasarannya kembali ke bandara.
Para ahli memang menyarankan, agar pemerintah memenuhi dua tuntutan: pencabutan RUU itu dan membentuk tim independen untuk menilai tindakan polisi. Memang pendemo akan tetap ngotot ‘lima adalah satu’. Tapi yang seperti itu tidak semua. Setidaknya separuh dari mereka tidak akan demo lagi. Kalau dua hal itu sudah dipenuhi.
DI’s Way bulan lalu pun sudah menulis itu. Setidaknya itulah langkah tepat untuk memisahkan: mana pendemo radikal dan mana yang moderat. Pemisahan seperti itu harus terus dilakukan. Sampai terlihat mana kelompok yang inti. Yang ingin merdeka itu. Yang pada dasarnya juga sudah diketahui.
Misalnya kelompok konglomerat Jimmy Lai. Pemilik kerajaan media. Nama korannya: Harian Apel, Apple Daily. Koran itu tergolong baru --untuk ukuran sejarah koran. Baru sekitar 25 tahun. Saat pertama terbit Apple Daily bikin kejutan. Halaman depannya meriah dan warna-warni. Aneh untuk dunia koran saat itu.
Tapi juga sangat menarik perhatian. Grafis-grafisnya luar biasa atraktif. Saya pernah mengirim tim grafis untuk ke Hongkong. Khusus mengamati apa yang dilakukan Harian Apel. Dan apa yang bisa diadopsi. Sukses di Hongkong Jimmy Lai membuat koran dengan nama yang sama di Taiwan. Tidak seberapa sukses.
Kini, di zaman digital, Jimmy Lai juga ekspansi ke media digital. Usaha lainnya adalah ritel pakaian: Giordano. Tapi toko-tokonya yang di berbagai kota di Tiongkok sudah dijual. Tentu banyak kelompok seperti itu yang lain. Misalnya dari kelompok Demosisto. Yang sudah diulas juga di DI’s Way (Lihat DI’s Way: Gerakan Lokal).
Yang radikal itulah yang pada dasarnya punya agenda khusus: ingin Hongkong merdeka dari Tiongkok. Katakanlah lima tuntutan itu dipenuhi. Yang aliran keras itu pasti punya alasan lain lagi. Tujuannya utamanya memang bukan itu. Pernah, misalnya, ada masalah bahasa. Awal tahun lalu.
Tiba-tiba saja ada isu: sekolah-sekolah di Hongkong akan diwajibkan mengajarkan bahasa Mandarin. Isu itu menjadi besar. Gelombang penentangan pun meluas. Mereka menolak bahasa Mandarin. Mereka merasa itu bagian dari intervensi Tiongkok ke Hongkong. Itu merupakan upaya Tiongkok untuk menghapus identitas Hongkong.
Orang Hongkong sangat bangga dengan bahasanya sendiri: bahasa Kanton. Yakni bahasa yang sama yang dipergunakan di satu provinsi besar di Tiongkok: Guangdong. Tapi isu bahasa itu reda sendiri. Setelah pemerintah menegaskan tidak pernah ada rencana seperti itu. Rasanya juga tidak ada perlunya. Kini semua orang Hongkong sudah bisa berbahasa Mandarin. Tanpa ada yang mewajibkan.
Sudah beda dengan 30 tahun lalu. Yang mereka enggan bicara Mandarin. Bahkan, sebelum itu, mereka merasa terhina kalau berbahasa Mandarin. Dianggap bahasanya orang kampung. Atau bahasanya orang miskin. Belakangan, ketika Tiongkok sudah maju, perubahan terjadi sendiri. Secara alamiah. Pembelanja dari Tiongkok membanjiri ke Hongkong. Banyak yang tidak bisa berbahasa Kanton.
Pun Tiongkok kian kaya. Bahkan kemudian mengalahkan Hongkong. Bukan hanya bahasa. Uang renminbi pun kemudian mereka terima. Mula-mula nilai rinminbi lebih rendah dari dolar Hongkong. Belakangan nilai renminbi lebih tinggi. Pun saat krismon 1998. Tiongkok-lah yang menyelamatkan ekonomi Hongkong. Yang kala itu menjadi target George Soros untuk dihancurkan.
Ternyata ekonomi Indonesia yang terkena. Tiongkok sendiri sudah agak lama prihatin dengan ekonomi Hongkong. Mengapa kapitalisme Hongkong yang begitu murni tidak bisa membawa kesejahteraan pada penduduknya. Mengapa Hongkong begitu kaya, tapi perumahan rakyat begitu parahnya.
Bagi yang pernah ke Hongkong pasti tahu. Betapa mahal rumah di Hongkong. Apalagi bagi orang kecil. Jutaan orang di sana hanya bisa hidup di bilik yang sangat sempit. Yang kamar tidurnya merangkap dapurnya.Kondisi seperti itulah yang dinilai menjadi salah satu penyebab meledaknya demo. Tapi tidak juga. Mereka ingin merdeka. Sebagian itu.***