HAL yang sudah jelas itu kemarin kembali dijelaskan: dana asing yang masuk ke SWF itu statusnya ekuitas, bukan pinjaman. Rupanya masih banyak yang terus mempertanyakan: apakah dana asing lebih Rp100 triliun itu tidak menambah utang luar negeri yang sudah Rp6.500 triliun.
SWF itu nama panggilan –sovereign wealth fund. Nama resminya Indonesia Investment Authority (INA) atau LPI –lembaga pengelola investasi. Dana lebih Rp100 triliun itu masuk ke SWF dari berbagai negara. Yang jumlah itu masih akan terus bertambah.
Ributnya bukan main. Maka direksi LPI –yang baru berumur dua minggu– perlu menegaskan lagi: bahwa itu bukan dana pinjaman. Itu dana investasi. Tidak akan menambah utang nasional. Sejak penegasan itu mungkin tidak ada lagi yang mempertanyakan status dana tersebut. Dan lagi dana itu sebenarnya belum ada. Belum masuk beneran. Bentuknya masih komitmen. Itu pun belum jelas: komitmen lisan atau tertulis. Di dunia global komitmen seperti itu masih dengan mudah berubah –kecuali ada ‘’tawaran khusus’’ di balik komitmen tersebut.
‘’Tawaran khusus’’ itu tidak harus dalam bentuk return yang lebih tinggi. Bisa saja dalam bentuk konsesi –yang kelihatan maupun yang gaib. Yang jelas Menko Perekonomian Ir Airlangga Hartarto sudah memastikan dana sejumlah itu bakal masuk ke SWF. Menko Luhut Panjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir juga mengatakan hal yang kurang lebih sama.
Pokoknya SWF akan jadi andalan baru pembangunan ekonomi kita. Khususnya pembangunan infrastruktur –yang menjadi ‘’panglima’’ di era Presiden Jokowi. Yang belum dijelaskan adalah ini: di mana dana tersebut akan dicatatkan. Kalau itu sebagai ekuiti –bukan utang– akan dicatat menjadi ekuitinya siapa.
Pilihan pertama: menjadi ekuitinya SWF/LPI.
Pilihan kedua: sebagai ekuiti titipan sementara.
Pilihan ketiga: sebagai ekuiti di proyek yang dimasuki SWF.
Yang mana?
Baiknya jangan dulu ditanyakan ke direksi SWF. Masih banyak pekerjaan rumah di sana. Kita tunggu saja kejelasan lebih lanjut. Merumuskan di mana ekuiti itu akan dicatatkan benar-benar tidak mudah. SWF bukanlah perseroan terbatas. Yang memiliki lembar saham. Yang setiap dana ekuiti masuk bisa dicatat sebagai saham.
SWF juga bukan lembaga keuangan seperti bank. Yang bisa mencatat dana luar dalam bentuk tabungan atau deposito. Yang SWF bisa memberikan bunga.
“Saya juga belum tahu. Belum pernah ada penjelasan soal itu,” ujar Mohamad Misbakhun, anggota DPR di komisi keuangan.
Saya sendiri masih sulit membayangkan di mana ekuiti itu akan dicatat. Apalagi sifatnya akan dinamis. Dana tersebut tentu akan masuk ke SWF tidak bersamaan. Kalau dicatat sebagai ekuiti SWF berarti komposisi ekuiti akan terus berubah. Ataukah SWF akan membentuk banyak ‘’anak perusahaan?’’ Yang setiap kali masuk ke satu proyek, SWF membentuk badan usaha baru. Yang merupakan badan usaha patungan –antara SWF dan investor asing. Di setiap proyek, SWF setor betapa dolar dan investor asing setor berapa dolar. Lalu badan usaha patungan itu yang akan jadi pemegang saham sementara –atau permanen– di proyek yang dimasuki.
Berarti akan ada banyak anak perusahaan SWF. Yang, sesuai dengan kemampuan SWF, mayoritasnya si investor asing. Berarti anak perusahaan itu akan berstatus PMA –penanaman modal asing. Ini akan menghadapi kendala besar. Kalau anak usaha PMA itu masuk ke salah satu BUMN yang sudah go public, berarti mayoritas saham BUMN tersebut akan menjadi di tangan asing.
Itu akan punya dampak legal yang panjang. Tapi bisa jadi dana dari anak perusahaan PMA tadi masuk ke salah satu BUMN bukan sebagai penyertaan modal. Bisa saja masuk sebagai MTN –medium term note. Atau sebangsa itu. Dengan bunga yang menarik.
Begitu banyak jalan yang bisa diterobos di dunia bisnis. Asal uangnya ada. Uang itulah yang kita tunggu-tunggu. Ia bisa menjadi dewa penolong di tengah dunia yang lesu. Sebelum dana asing itu benar-benar masuk, janganlah terlalu banyak pertanyaan. Jangan sampai lebih banyak pertanyaannya dari pada jumlah uangnya.
Biarlah direksi berpikir keras bagaimana mengubah komitmen itu menjadi uang. Biarlah cukup waktu memikirkan bentuk pencatatan ekuiti itu nanti. Tapi, yang antre untuk mendapat uang itu sudah sangat panjang. Waskita Karya sudah terlihat ngebet menjual lima ruas jalan tol miliknya. Bahkan Pertamina sendiri sudah mengatakan perlu dana SWF sampai Rp600 triliun. Agar proyek-proyek besarnya berjalan lancar.
Beranikah SWF melangkah? Sebelum dana asing itu masuk? Misalnya, beranikah SWF masuk ke jalan-jalan tol yang sudah beroperasi itu? Dengan memakai dulu uang yang sudah ada di SWF? Yang berasal dari APBN itu? Yang nilainya Rp 15 triliun itu?
Tentu akan ada orang kritis yang mempersoalkan: uang APBN itu asalnya dari dari pinjaman. Lalu untuk menolong BUMN lewat SWF. Maka Disway hari ini sebaiknya sampai di sini dulu. Nanti terlalu banyak pertanyaan yang harus dipikir.***