JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat tren positif terkait dengan tingkat keterisian (okupansi) hotel sepanjang libur dan tahun baru lalu. Capaian itu sedikit lebih tinggi daripada prediksi sebelumnya. PHRI menyatakan tidak pasang target tinggi-tinggi karena harga tiket pesawat masih mahal.
Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menuturkan, masyarakat modern sudah lebih kreatif. Untuk menyiasati tingginya harga tiket pesawat, mereka menggunakan alternatif moda transportasi lain agar tetap bisa berlibur. "Terkompensasi dengan tol. Banyak orang yang naik mobil. Kereta api juga karena ada penambahan gerbong," ujarnya, kemarin (2/1).
Pada masa puncak liburan, 25 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020, PHRI melihat okupansi hotel bergerak naik. Rata-rata, angkanya berkisar 80 persen. Yang menarik, tingginya okupansi tidak hanya terjadi pada hotel-hotel berbintang. "Merata rasanya. Karena memang ada hotel melati bintang satu yang juga ramai," kata Hariyadi.
Menurut pria yang juga menjabat ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tersebut, tren positif okupansi hotel itu juga berimbas pada pendapatan industri lain. Salah satunya adalah restoran. Dia memperkirakan kenaikan pendapatan pelaku usaha restoran sampai 20 persen.
Tentang proyeksi tahun ini, Hariyadi yakin okupansi hotel berbintang bakal mencapai 55 persen. Tahun lalu capaiannya berkisar 53 persen. Menurut dia, proyeksi itu dipicu kemungkinan adanya kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada 2020 ini. Dia memprediksi angka kunjungan wisman 16,5 juta orang.
"Asumsinya, jumlah kamar terus bertambah. Apalagi, ada virtual operator dan operator hotel dengan sistem sharing economy," ungkapnya.
Sepanjang 2019, kinerja industri perhotelan menurun. Terlebih hotel-hotel di Jayapura, Ambon, dan Makassar. "Pokoknya, yang di luar Jawa rata-rata turun. Bali juga," terang Hariyadi. Sejauh ini bisnis perhotelan di Jawa dan Sumatera Barat masih stabil.(agf/c14/hep/jpg)