FAISAL RUSDI, PELUKIS YANG DERITA CEREBRAL PALSY

Mulanya Ditolak Asosiasi karena Melukis dengan Tangan

Nasional | Senin, 02 Maret 2020 - 10:31 WIB

Mulanya Ditolak Asosiasi karena Melukis dengan Tangan
Faisal Rusdi

Terlahir dengan kondisi fisik tak sempurna tak mematahkan asa Faisal Rusdi. Penderita cerebral palsy sejak berusia 6 bulan itu tahu harus punya kemampuan untuk hidup mandiri. Jatuh cinta pada dunia lukis, Faisal sudah terdaftar sebagai anggota Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) 18 kali berturut-turut.

BANDUNG (RIAUPOS.CO) -- BEL elektrik portabel itu tergeletak di ruang tamu rumah Faisal, daerah Sukapura, Kiaracondong, Bandung, Jawa Barat. Bel itu digunakan saat pria 45 tahun tersebut memerlukan bantuan. “Dipencet buat memanggil pendamping saya, Kurnia Solihin,” kata Faisal.


Faisal tinggal di rumah itu bersama sang istri, Cucu Saidah, dan pendampingnya yang selalu siaga menemani. Saat wawancara, Cucu sedang berada di Palu, Sulawesi Tengah. Faisal mengungkapkan, Cucu memang supersibuk. Dia bekerja di bidang advokasi untuk penyandang disabilitas. “Di Palu, Bu Cucu meninjau lokasi pasca-gempa dan tsunami. Apakah fasilitas publiknya untuk penyandang disabilitas sudah dibangun kembali,” terangnya.

Cucu dan Faisal sama-sama penyandang disabilitas. Namun, Cucu yang mengalami kelainan fisik bawaan sejak lahir masih bisa berjalan. Sementara Faisal yang terkena cerebral palsy lumpuh total.

Untuk berpindah tempat, selain dengan kursi roda, Faisal menggunakan perut. Dia tengkurap, kemudian menggeliat dan menggeserkan perut menuju titik tujuan.

Anak sulung lima bersaudara itu mulai merasa berbeda dengan anak-anak pada umumnya ketika berusia 5 tahun. “Saya kok nggak bisa jalan. Apalagi, adik sudah TK. Sering nganter ke sekolah. Kok, abis nganter pulang lagi,” ungkapnya.

Beberapa kali orang tua membawa Faisal berobat. Bermacam cara dilakoni, termasuk pengobatan alternatif. Faisal pernah dimandikan dengan kembang tujuh rupa. Pernah juga dipijatkan sampai ke pelosok kota.

Orang tua juga membawa Faisal ke yayasan pendidikan anak cacat (YPAC) untuk menjalani rehabilitasi medis. Setelah selesai terapi, dia biasanya lelah dan lemas. Kedua kakinya sakit jika disentuh. Terapis bilang, Faisal punya peluang sembuh jika berobat teratur.

Beberapa kali Faisal down. Yaitu saat ada yang bilang masa depannya akan suram jika terapi tak berhasil. Begitu pula pandangan sejumlah anggota keluarga. “Mereka mengkhawatirkan masa depan saya. Ada yang bilang, ‘Kalau orang-orang sekitar saya meninggal, nasib kamu gimana?’” terangnya.

Pada usia 9 tahun, Faisal masuk Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) D di YPAC. Terapi tetap berjalan. Saat ada jam kosong di kelas, dia datang ke salah satu ruangan di sekolah untuk menjalani terapi. Lulus dari SDLB, Faisal lanjut ke kejuruan pertama. Tetap di YPAC. Sebetulnya, dia ingin masuk ke sekolah menengah pertama umum. Namun, rasa percaya dirinya belum kuat.

Faisal menyadari, dirinya harus memiliki keterampilan yang bisa dijadikan pekerjaan. Supaya dirinya bisa mandiri secara finansial. Faisal lalu mendaftar ke sanggar lukis milik Barli Sasmitawinata, Sanggar Gempol, Bandung.

Dia mendapat perlakuan yang berbeda dengan nondifabel. “Tapi guru-gurunya juga tidak komunikatif,” ungkapnya.

Sebelum keluar, dia memperoleh informasi dari salah seorang guru mengenai Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA). Di Indonesia, ada sembilan orang yang tergabung dalam AMFPA yang merupakan asosiasi para pelukis menggunakan mulut dan kaki.

Faisal ingin bergabung. Namun, pada kedatangan pertama, dia ditolak karena masih melukis hanya dengan tangan. Namun, tekadnya tak luntur. Dia menemui salah seorang mantan guru di Sanggar Gempol. Dia mulai belajar melukis dengan kaki dan mulut.

Terus berusaha memenuhi syarat yang diminta, pada 2002 Faisal resmi diterima sebagai anggota asosiasi yang memiliki kantor pusat di Liechtenstein, Jerman, itu. Statusnya masih anggota pelajar (student member). Di atasnya ada status anggota rekanan dan status anggota penuh.

“Anggota penuh itu diisi pelukis yang telah menghasilkan karya berkualitas dan dikenal luas,” jelas pelukis aliran surealis itu.

Anggota AMFPA wajib mengirimkan enam karya setiap tahun. Lukisan tersebut akan direproduksi menjadi kartu ucapan, kalender, hingga mug. Per bulan, setiap anggota mendapat gaji. Besarannya beragam disesuaikan dengan status anggota. “Saya? Bisa Rp 7 juta–Rp 8 juta,” ucap Faisal.

Pada 2016, Faisal ke Australia mengikuti istri yang mendapat beasiswa S-2 bidang kebijakan publik di Flinders University, Adelaide. Sang istri berangkat dulu, Faisal menyusul. Waktu mengurus dokumen tinggal sementara di Australia, Faisal diminta membuat proposal. “Isinya tentang yang akan saya lakukan di Australia. Mungkin takut dianggap merepotkan negara. Karena saya tidak bisa membawa asisten,” katanya.

Siapa sangka, kedatangan itu justru membuatnya mampu menggelar pameran lukisan tunggal di Balai Kota City of West Torrens pada November 2017. Total 19 lukisan dia pamerkan.

Bukan hal mudah meng-gelar pameran tunggal di Australia. Galeri seni lebih memprioritaskan seniman lokal. “Saat pindah kontrakan, kami bertemu pemilik rumah yang kebetulan juga pelukis. Saya langsung menanyakan cara menggelar pameran tunggal,” tuturnya.

Kebetulan, pemilik rumah yang pelukis itu juga sering mengadakan pameran tunggal. Melihat karya Faisal, dia lantas memberikan rekomendasi ke galeri setempat. Beberapa hari kemudian, galeri menghubungi Faisal dan memberikan izin untuk menghelat pameran. Lukisan Faisal saat itu dijual Rp5 juta–Rp20 juta.

Selain di dunia seni lukis, Faisal aktif mengadvokasi penyandang disabilitas Bandung. Dia membentuk komunitas Bandung Independent Living. Bersama empat teman, termasuk sang istri, dia membuat aktivitas sosial Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT) pada 2012. “JBFT mempertemukan para penyandang disabilitas dan nondisabilitas dalam sebuah kegiatan. Misalnya, menyelam bersama. Tujuannya? Supaya nondisabilitas memahami bahwa penyandang disabilitas bisa hidup berdampingan,” terangnya.

Faisal tak ingin dirinya dikasihani. Jika merasa masih sanggup melakukan sesuatu, dia akan melakukannya sendiri. Patricia Saerang, salah seorang sahabat Faisal, menilai sama. Patricia juga anggota AMFPA. Dialah yang kali pertama mengajak Faisal bergabung ke AMFPA. Sebagai anggota AMFPA, setiap lima tahun, kualifikasi member dievaluasi. Jika dianggap buruk, keanggotaan akan dicabut.(*/c5/ayi)

DIMAS NUR APRIYANTO, Bandung









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook