JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Mabes Polri berpendapat, para penyebar hoaks atau berita tidak benar termasuk di media sosial bisa saja dijerat dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pendapat itu disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo. Namun menurut Dedi Prasetyo penggunaan UU Antiterorisme tetap harus berdasarkan fakta hukum yang ada. Harus dilihat dulu maka atau definisi terorisme.
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut
Di dalam undang-undang itu disebutkan terorisme adalah perbuatan yang
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan rasa
takut secara meluas dan dapat menimbulkan korban secara massal, dan/atau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas
internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Sebelumnya, wacana itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto. Sebab, hoaks yang beredar bisa menakuti masyarakat dan mengganggu keamanan.
“Jadi jika ada unsur kesengajaannya untuk membuat rasa cemas dan takut, bentuk intimidasi psikologis, itu (UU Antiterorisme, red) bisa dikenakan (kepada penyebar hoaks),” ujar Dedi Prasetyo Kamis (21/3/2019).
Dedi juga merujuk ketentuan lain pada UU Antiterorisme. Di antaranya adalah Pasal 43 huruf a. Ketentuan itu mengatur tentang upaya-upaya pencegahan untuk memitigasi berita-berita atau narasi-narasi foto, video yang sengaja diviralkan oleh orang-orang tertentu,