”Saya sering antar makanan ke istrinya. Masuk-masuk ke rumahnya. Biasa sampai dapurnya,” ujar istri Binawan.
”Istri Dita juga biasa saja. Pakai jilbab biasa. Seperti saya ini. Tidak pakai cadar,” tambahnya.
Tetangga Dita yang lain buka butik. Istri Dita biasa belanja di butik itu. Beberapa hari sebelum kejadian istri Dita masih beli tas. Untuk anak putrinya.
”Untuk dipakai lebaran nanti,” kata Ny Banawan menirukan ucapan istri Dita.
Hampir tiap hari Dita pergi bersama Binawan ke mushala. Di belakang rumah. Biasa saja. Keduanya jadi makmum. Tidak pernah jadi imam. Keduanya juga sering didatangi pengurus Muhammadiyah cabang. Yang menarik iuran organisasi. Atau sumbangan.
Bahkan menghadapi bulan puasa ini Dita masih mengantarkan petugas organisasi. ”Datang ke rumah saya ini. Untuk mengumpulkan dana persiapan Ramadan,” ujar Binawan.
“Kami bertiga duduk di teras rumah saya ini,” katanya sambil menunjuk terasnya. Dita, kata Binawan, orang yang mampu.
Deretan rumah di klaster itu memang deretan orang mampu. Meski belum terkategori kaya. Seluruh rumah di klaster itu menunjukkan klaster kelas menengah mapan: tiap kapling 200 m2. Harga rumah di situ sekitar Rp1,5 miliar. Saat ini.
Dita menempatinya sejak tahun 2012. Binawan lebih dulu pindah ke situ: 1994.
Dita juga pebisnis. Memproduksi minyak kemiri. Dipasok ke pedagang-pedagang Tionghoa. Teman dagangnya Tionghoa semua. Dita bukan tipe yang hanya mau berbisnis dengan sesama muslim.
”Kalau soal tuduhan pernah ke Syiria saya bantah,” kata Binawan.
“Saya ini bertetangga hampir sepuluh tahun. Tahu benar bahwa ia tidak ke Syiria,” katanya.
Pagi beranjak terang. Kian terang. Tidak ada waktu lagi ngobrol lebih panjang. Harus segera ke tempat salat. Saya mengira bisa ikut salat di mushala belakang rumah itu. Ternyata tidak ada salat Idul Fitri di situ.
Kami pun bikin keputusan baru: balik kucing. Ke rumah sakit lagi. Hanya 10 menit. Salat di halaman rumah sakit. Begitu penuh halaman rumah sakit itu. Begitu disiplin jamaahnya: setia mendengarkan khotbah sampai selesai.
Usai khotbah tinggal masuk loby. Belok kanan. Tiba di ruang perawatan istri saya. Berbaris. Siap sungkeman. Saya duduk di atas tempat tidur. Di sebelah istri saya. Adik-adik istri, anak-anak, menantu, cucu-cucu antri sungkem: bermaafan lahir batin.
Lalu gantian. Para suami sungkem ke istri. Ganti suami minta maaf ke istri. Itu tradisi keluarga kami. Suami pun banyak salahnya. Kenapa hanya para istri yang sungkem ke suami.
Di ruang perawatan itu pula kami pesta tahunan: soto Banjar. Dan buras. Istri saya sudah mengajari adiknya: bagaimana bikin soto Banjar yang enak. Soto Banjar Bu Dahlan ‘terenak di dunia’. Itu kata saya. Dengan sangat bangganya. Dan subyektifnya.
Sedangkan ‘buras Bu Dahlan’ tanpa subyektif: pasti paling sedap. Tidak ada bandingannya. Tidak ada yang jual soalnya. Bikin buras itu rumit: beras ditanak setengah matang. Lalu diberi santan. Dibungkus daun pisang. Sebesar tempe. Diikat seperti pocong. Dikukus.
Kuahnya: ikan gabus dimasak. Dagingnya diangkat. Dilembutkan. Dimasukkan bumbu seperti laksa melayu. Saya tidak akan merincinya lebih detil resep itu. Hahahhaa: itu kebanggaan ekslusif istri saya.
(Artikel ini sudah tayang di laman www.disway.id dengan judul Lebaran Di Rumah Sakit.)
Sumber: Pojoksatu
Editor: Fopin A Sinaga