Istri saya yang merencanakan semua itu: dia sendiri gagal mengenakannya.
Terlalu pagi kami berangkat. Tidak apa-apa. Sambil mampir ke kampungnya Dita. Pembawa bom bunuh diri itu. Bersama istri dan dua anaknya itu. Yang meledakkan gereja-gereja Surabaya itu.
Ketemu: rumahnya di suatu jalan kembar. Jalan kembar yang berportal. Kuldesak. Jalan buntu. Mirip satu klaster khusus. Berisi 24 rumah saja.
Portal yang di satu sisi ditutup. Permanen. Dikunci. Portal satunya yang dibuka-tutup. Oleh satpam yang sudah tua.
Begitu banyak pertanyaan dari pak tua. Yang masih gagah itu. Tapi kami dibukakan portal.
Gampang sekali mencari rumah Dita. Hanya beberapa rumah dari portal itu. Deretan ke-11. Pagar rumah itu kini ditutup rapat. Tiga susun tripleks menutupinya. Kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di balik tripleks itu. Kami parkir di depannya. Membuat foto.
Sesaat kemudian satu keluarga muncul dari rumah sebelahnya: kelihatannya ingin berangkat salat juga. Rumahnya hanya selisih dua rumah dari rumah Dita.
Mereka kenal saya. Kami bersalaman: bapak, ibu, satu putra dan satu putri. Itulah keluarga Binawan. Pebisnis.
Ada tumpukan karung di terasnya: makanan ikan. Dipasok ke tambak-tambak udang. ”Pak Dahlan kan juga punya tambak udang,” kata Binawan. Tahu saja.
Kami pun ngobrol. Tentang Dita. Yang tidak ia duga seperti itu. Yang rumahnya selalu terbuka. Sering untuk tempat arisan. Sering saling berkunjung. Sering saling sapa.